PWMU.CO – Perbedaan budaya sering menjadi tantangan yang dihadapi keluarga diaspora Indonesia yang menjalani mix marriage (perkawinan campuran) dan menetap di luar negeri. Hidup berumah tangga dengan warga negara asing bukanlah hal yang mudah. Perbedaan budaya, pandangan hidup, hingga munculnya konflik menjadi tantangan tersendiri.
Bahkan, tidak jarang terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh diaspora Indonesia yang menikah dengan warga Pakistan.
Melihat pentingnya isu ini, khususnya di Pakistan, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiyah (PCIA) Pakistan bekerja sama dengan civitas akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Islamabad. Kolaborasi ini diwujudkan dalam bentuk seminar kesehatan mental bagi keluarga multikultural yang tinggal di Pakistan, Sabtu (16/11/2024).
Acara ini turut dihadiri secara daring oleh Kepala KUAI KBRI Islamabad, Rahmat Indiarta Kusuma, yang menyampaikan antusiasmenya terhadap isu yang diangkat. Seminar ini menargetkan para diaspora yang sering menghadapi tantangan kesehatan mental dalam hubungan rumah tangga mereka dengan pasangan dari budaya yang berbeda.
Sekitar 40 pasangan diaspora dengan status mix marriage hadir dengan antusias dalam acara ini. Dalam pemaparannya, Lusi Nuryanti MSi PhD, menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental. Ia menjelaskan bahwa kesehatan mental sering kali diabaikan, padahal dampaknya sangat besar, baik bagi individu maupun hubungan interpersonal.
Beberapa strategi yang disampaikan Lusi antara lain:
- Komunikasi terbuka: Mendorong dialog yang jujur dan saling memahami perasaan serta kebutuhan pasangan.
- Menghargai perbedaan: Belajar, memahami, dan menghormati kebiasaan serta nilai-nilai pasangan dari budaya yang berbeda.
Lusi juga mengenalkan Gottman Method sebagai teknik penyelesaian konflik, yang meliputi:
- Mendengar dengan saksama.
- Berdiskusi dengan nada lembut.
- Mendinginkan suasana sebelum melanjutkan pembicaraan.
- Menunjukkan empati.
- Bersikap objektif.
- Berkompromi.
Sementara itu, Bayu Suseno MSi, menambahkan materi tentang mekanisme coping. Ia menggambarkan bagaimana mental kita membutuhkan istirahat dari tekanan, layaknya tangan yang memegang beban terlalu lama.
Seminar yang berlangsung selama empat jam ini diisi dengan diskusi hangat. Para peserta mencurahkan keluh kesah mereka, mulai dari permasalahan kenakalan anak hingga hubungan yang kurang harmonis dengan keluarga pasangan. Lusi dan Bayu memberikan tanggapan yang memadai terhadap setiap pertanyaan.
Di akhir acara, peserta berharap PCIM dan PCIA Pakistan dapat melanjutkan program kesehatan mental ini, baik secara daring maupun luring. Usulan tersebut akan dipertimbangkan karena dianggap sangat bermanfaat bagi para diaspora. Hal ini juga sejalan dengan tujuan awal pendirian PCIM di luar negeri, yaitu menjadi wadah bagi diaspora untuk berkumpul dan berbagi cerita. (*)
Penulis Farhan Aflah Editor Wildan Nanda Rahmatullah