PWMU.CO – Guru Besar ITS Prof Daniel M Rosyid PhD bersuara kritis atas pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI), bahwa sistem pendidikan nasional tertinggal 45 tahun.
Menurut Daniel, hasil riset yang dikutip SMI itu betul tapi menyesatkan. “Betul kalau kita terus meniru OECD dan melihat model OECD itu sebagai model pembangunan teladan,” kata di apada PWMU.CO, Rabu (18/10/17).
BACA Kemendikbud: Penguatan Pendidikan Karakter Semakin Lengkap dengan Peran Media
Menyesatkan, lanjut Daniel, karena secara diam-diam kita dibuat rendah diri dan dipaksa mengikuti model pembangunan mereka, yang kalau dilihat jernih adalah model pembangunan yang gagal.
“Peradaban OECD itu sebagian besar tidak layak dicontoh seperti kehancuran keluarga, hidup dari hutang, boros energi, dan eksploitatif serta invasif,” ujar Tim Ahli Majelis Dikdasmen PWM Jatim periode 2010-2015 itu.
OECD adalah Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi adalah sebuah organisasi internasional dengan 30 negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas.
Seperti dikutip detik.com, Selasa (17/10/17), SMI mengungkapkan bahwa menurut hasil riset World Development Report (WDR), untuk mengejar ketertinggalan sistem pendidikan nasional seperti sekarang ini dan agar sama dengan OECD dibutuhkan waktu 45 tahun.
“Kalau untuk science dibutuhkan 75 tahun untuk mengejar ketertinggalan. Ini hasil yang perlu untuk memperbaiki diri dalam kualitas pendidikan kita,” ujarnya di Kantor Pusat Bank Dunia, Washington, Senin (16/10/2017).
Menurut Daniel, reformasi seperti yang diminta SMI itu hanya berarti satu dan hanya satu deschooling, mengurangi dominasi persekolahan dalam Sisdiknas kita. “Mengapa?” tanya dia.
Keterpurukan kita itu, jawab Daniel, justru karena kita mengadopsi sistem persekolahan OECD, lalu meninggalkan model pendidikan kita sendiri, yang oleh Ki Hadjar disebut Tri Sentra Pendidikan yaitu keluarga, masyarakat, dan perguruan. perguruan atau persekolahan itu di urutan ke tiga.
“Yang paling penting dan efektif untuk mendidikan warga muda itu adalah keluarga. Lalu masyarakat. Baru kemudian perguruan atau persekolahan,” ujar mantan Ketua Dewan pendidikan Jatim itu.
Daniel menjelaskan, bahwa paradigma mutu berbasis standard atau penyeragaman harus dibuang jauh-jauh. “Lalu kita harus mengutamakan relevansi personal, spasial, dan temporal agar pendidikan sebagai proses belajar menjadi lebih bermakna bagi setiap warga muda untuk hidup berjiwa merdeka, mandiri, sehat dan produktif,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, kita juga harus mengambil paradigma belajar, bukan paradigma bersekolah. “Membangun pendidikan berarti memperluas kesempatan belajar, bukan memperbanyak sekolah dan memperlama bersekolah,” tuturnya,
“Wajib Belajar”, menurut Daniel, tidak boleh diartikan sebagai “Wajib Sekolah”. “Justru dengan paradigma belajar itu, sumberdaya pendidikan menjadi melimpah. Sementara paradigma bersekolah justru membuat sumberdaya pendidikan menjadi langka dan terbatas.
“Jadi dari 20 persen APBN/D perlu direalokasi ulang agar tidak habis di persekolahan. Keluarga, unit-unit kegiatan masyarakat, perpustakaan kecamatan, Karang Taruna, Remaja Masjid/Gereja, sanggar seni, dan klub olahraga serta Pramuka juga perlu didanai dengan dana yang sebanding,” kata dia. (MN)