Oleh (Miftahul Husna Nasution)
PWMU.CO – Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang memberikan perhatian besar terhadap pendidikan. Perjalanan Muhammadiyah dalam mengembangkan pendidikan tersebut dimulai dari zaman kolonial Belanda. Pendidikan yang diselenggarakan kolonial Belanda hanya menguntungkan penjajah saja. Oleh sebab itu KH. Ahmad Dahlan sebagai founding father Muhammadiyah mulai berfikir untuk mengentaskan pribumi dari segala bentuk kebodohan yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Pendidikan merupakan salah satu amal usaha Muhammadiyah yang cukup strategis.
Pendidikan di Muhammadiyah bertujuan untuk menyiapkan lingkungan yang memupuk kesadaran akan kehadiran Allah SWT sebagai Rabb dan juga dapat menguasai ilmu pengetahuan seni dan teknologi. Salah satu Peran Kyai dalam mengubah tata laku masyarakat terdahulu antara lain meluruskan tata laku penguasa dalam ritual. Mereka mengajak masyarakat memahami agama islam seutuhnya. Tidak hanya memurnikan ajaran islam, membangun musholla, mengajak warga kampung untuk sholat berjamaah adalah peran penting Muhammadiyah dalam mendidik masyarakat memahami ilmu agama secara menyeluruh.
“Kyai Ahmad Dahlan sendiri juga berpesan bahwa dalam mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan agama tidak hanya cukup dengan memahami namun juga harus “nglakoni” atau mempraktekkan,”
Muhammadiyah memiliki amal usaha pendidikan sejak awal pendirian di tahun 1912 hingga saat ini telah meningkat drastis. Jumlah sekolah Muhammadiyah dari SD/sederajat sampai SMA/sederajat berjumlah 5.346 sekolah. Rincian dari jumlah satuan pendidikan ini SD/MI berjumlah 2.453 sekolah. Selanjutnya SMP/MTs berjumlah 1.599 sekolah. SMA/MA/SMK berjumlah 1.294 sekolah. Jumlah ini menampung lebih dari satu juta peserta didik. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah dapat melakukan transfer pengetahuan, nilai-nilai prinsip kepada peserta didik. Misi pendidikan Muhammadiyah yang saya fahami adalah membentuk karakter islami, unggul dan berkemajuan.
Nilai jual yang dikedepankan di sekolah Muhammadiyah itu adalah pendidikan agamanya. Terlebih dalam bidang Ismubaqur (Al Islam, Kemuhammadiyahan, Bahasa Arab, dan Al Qur’an). Dalam hal ini juga anak-anak diharapkan bisa terjun langsung ke lapangan atau lingkungan masyarakat dalam mengaplikasikan keilmuannya. Pernah terdengar dari masyarakat mengenai pendidikan Muhammadiyah. Ada salah seorang murid pernah mengatakan bahwasannya saya sangat beruntung sekali ketika saya disekolahkan di Muhammadiyah, hal ini disebabkan karena anak tersebut bisa melaksanakan fardhu kifayah terhadap keluarga khususnya kepada orang tua, karena dia pernah mendengar perkataan dari seorang guru yang mengajar di Muhammadiyah tersebut, “salah satu keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya adalah ketika proses fardhu kifayah mulai dari memandikan, mengkafankan, menshalatkkan hingga menguburkan adalah anak-anaknya, karena kalau orang lain belum tentu bisa menjaga aib dari si jenazah, kalau keluarga terutama anaknya pasti akan menutupnya’’. Anak tersebut ayahnya telah meninggal di usia SMA, lalu sang anak menjadi imam shalat. Sekalipun anak tersebut di saat SMA tidak melanjutkan pendidikan di Muhammadiyah, hanya saja dia dengan bangga pernah mengungkapkan hal ini kepada guru SMP nya ketika mampir ke sekolah karena ada keperluan.
Tidak hanya itu saja pendidikan di Muhammadiyah dari persentasi yang saya lihat di lapangan, wali murid lebih mempercayai pendidikannya di Muhammadiyah, tidak hanya ilmu dunia saja yang di dapatkan melainkan ilmu akhiratnya lebih ditingkatkan. Hal ini dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Muslim no 2868 “Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868). Terkadang masyarakat di sekitar kalau anak-anak di sekolah Muhammadiyah pasti keluarga nya warga Muhammadiyah, melainkan dari bermacam-macam faham khilafiyah. Kita tidak pernah lupa dengan istilah Teori Al Ma’un. Teori Al Ma’un masih tetap dijalankan dengan baik, dalam sistem pendidikan Muhammadiyah diwujudkan dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi warga bangsa tanpa diskrimnasi. Teori ini juga telah menginspirasi Muhammadiyah juga dalam berbuat kebaikan (sosial).
Terkadang masyarakat di sekitar kalau anak-anak di sekolah Muhammadiyah pasti keluarga nya warga Muhammadiyah, melainkan dari bermacam-macam faham khilafiyah. Kita tidak pernah lupa dengan istilah Teori Al Ma’un. Teori Al Ma’un masih tetap dijalankan dengan baik, dalam sistem pendidikan Muhammadiyah diwujudkan dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi warga bangsa tanpa diskrimnasi. Teori ini juga telah menginspirasi Muhammadiyah juga dalam berbuat kebaikan (sosial).
Professor Abdul Mu’ti pernah mengatakan bahwasannya lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari fungsi utama yaitu sebagai fungsi pendidikan. Disertai dengan dua fungsi utama lainnya, yaitu dakwah dan perkaderan. Pertama, fungsi pendidikan Lembaga pendidikan Muhammadiyah artinya setiap lembaga pendidikan naungan Muhammadiyah mampu menjadi pusat ilmu, teknologi dan kajian untuk membedah ilmu modern maupun ilmu al-quran yang mampu berkontribusi nyata bagi masyarakat. Kedua adalah fungsi dakwah, sebab lembaga pendidikan Muhammadiyah mempunyai fungsi sebagai pusat dakwah di lingkup pendidikan, karena apapun yang dilakukan oleh lembaga pendidikan muhammadiyah tidak boleh lepas dari cita-cita dan spirit dakwah muhammadiyah.
Ketiga adalah fungsi perkaderan, fungsi terakhir ini tidak boleh dianggap remeh sebab memiliki arti penting bagi keberlangsungan organisasi dan penyambung estafet kepemimpinan bangsa. Mu’ti menyebut perkaderan dalam lingkup pendidikan Muhammadiyah sangat penting dilakukan karena generasi muda persyarikatan Muhammadiyah yang akan mewarisi semangat dakwah dan perjuangan Muhammadiyah.
Oleh karena itu sebagai tenaga pendidik di lembaga Muhammadiyah harus semakin cerdas dan berkemajuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Ingat petuah yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan “Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Editor Syahroni Nur Wachid