Oleh Imam Yudhianto S, SH SE SPd MM – Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Maospati, Magetan
PWMU.CO – Perubahan adalah keniscayaan. Dunia terus bergerak dengan siklus dinamisnya yang tak pernah stagnan. Arus globalisasi melanda di setiap sudut kehidupan. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bervisi tajdid (pembaruan) harus menempatkan dirinya sebagai harbinger (pembawa obor penerang).
Namun, terkadang kenyataan tak sesuai impian. Dalam lingkup keluarga besar Muhammadiyah, masih tersisa jejak-jejak kejumudan — sehingga tampak menjadi antagonis dengan visi berkemajuan Muhammadiyah. Fenomena ini seperti debu di atas kaca, tipis tetapi mengaburkan pandangan dari arah yang diharapkan.
Melawan kejumudan internal
Kejumudan atau stagnasi ini tidak hanya berkaitan dengan cara berpikir, tetapi juga jumud dalam memahami agama secara holistik. Mengutip pandangan Syekh Muhammad Abduh, “Al-Islamu mahjubun bil muslimin” (Islam itu tertutupi oleh perilaku kaum Muslimin sendiri). Kebodohan dalam memahami esensi ajaran Islam secara holistik dan progresif ini merupakan tantangan besar. Karena itu Muhammadiyah — dengan identitasnya sebagai gerakan tajdid — memiliki tanggung jawab untuk mengikis sekat-sekat ini. Mengembalikan agama kepada semangat dasarnya, yaitu rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) merupakan prioritas utama.
Saat ini Muhammadiyah berada di tengah ekosistem global yang kompleks. Dinamika lokal dan global yang bertumpuk menjadi ancaman tersendiri. Globalisasi yang melahirkan cultural homogenization, juga sekaligus menciptakan jurang antara mereka yang adaptif dengan yang jumud. Ancaman ini diperparah oleh kejumudan dalam memahami Islam. Misalnya, pikiran reduksionis yang memandang Islam hanya sebagai himpunan ritual semata. Pikiran jumud tidak menempatkan agama dalam rana sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Padahal, Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an, “Inna Allaha la yughayyiru ma biqawmin hatta yughayyiru ma bianfusihim” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini menyeru perlunya perubahan internal sebagai syarat transformasi sosial.
Keberhasilan Muhammadiyah sebagai gerakan besar tak bisa di sangkal. Namun, kejayaan ini tak boleh menjadi alasan untuk berpuas diri. Seperti metafora pohon tinggi yang dihantam angin, organisasi sebesar Muhammadiyah pun menghadapi tekanan dari berbagai sisi — baik sisi internal maupun sisi eksternal.
Tak terpungkiri saat ini kejumudan masih menghambat langkah kader-kader Muhammadiyah. Sedang di sisi lain tantangan global menuntut kemampuan adaptasi dan inovasi. Kejumudan hanya akan melahirkan keterpurukan. Ibnu Taimiyah menyebutkan, “Al-jumud ‘ala manhaj wahid wa al-rukuud fil-‘amal yudammirul umam” (keteguhan pada satu metode dan stagnasi dalam amal akan menghancurkan umat).
Muhammadiyah perlu rethinking tentang pola pengkaderan dan pembinaan cara berpikir agar lahir generasi-generasi penerus yang kritis, progresif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Kejumudan akibat jebakan pemikiran usang masa lalu, berpotensi menjerumuskan Muhammadiyah pada kehancuran perannya sebagai gerakan Islam berkemajuan.
Pada era postmodern ini, kader Muhammadiyah harus mengembangkan intelektualitas berbasis nilai-nilai agama yang kokoh. Sebagaimana Al-Ghazali menyatakan, “Al-‘ilm bila ‘amal junun, wa al-‘amal bila ‘ilm la yakun” (ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan).
Sudah saatnya revolusi pemikiran oleh para pemimpin dan kader Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran sempit, kaku, dan hitam-putih harus dipertukarkan dengan wawasan yang luas, terbuka, dan multidimensi. Menghadapi globalisasi berarti memahami bahwa Islam tak hanya berfungsi sebagai agama yang memandu spiritualitas individu, tetapi juga sebagai sistem nilai yang berkontribusi pada peradaban global. Nilai-nilai Islam yang diusung Muhammadiyah harus mampu menjawab isu-isu kontemporer seperti ekologi, teknologi, dan keadilan sosial. “Al-Islam huwa ad-deen wa ad-dunya” (Islam adalah agama dan dunia), kata Syekh Yusuf Al-Qaradawi.
Muhammadiyah juga perlu memaknai ulang konsep dakwah bil hal. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dibidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial merupakan bentuk dakwah bil hal yang telah lama menjadi trademark Muhammadiyah.
Namun, tantangan global menuntutnya lebih. AUM perlu diarahkan untuk menyelesaikan persoalan global seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan perubahan iklim. Inilah makna Islam Berkemajuan yang sesungguhnya—Islam yang mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah dunia.
Rekonstruksi kaderisasi
Muhammadiyah juga harus merekonstruksi narasi tentang kaderisasi. Kader Muhammadiyah tidak hanya berfungsi sebagai penggiat internal. Lebih dari itu juga perlu tampil sebagai duta Islam di ruang publik. Diaspora kader Muhammadiyah di bebagai bidang kehidupan menjadi keharusan. Kader harus hadir sebagai agen perubahan (agent of change) di semua lini. “Khairukum anfa’uhum lin-nas” (sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain), demikian sabda Rasulullah SAW.
Melawan kejumudan, Muhammadiyah harus menciptakan ruang diskursus terbuka. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman, melainkan tantangan dan kesempatan memperkaya wawasan. Muhammadiyah lahir dari semangat pembaruan, maka jangan sampai terjebak dalam kejumudan.
KH Ahmad Dahlan pernah berkata, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Kalimat ini menjadi pengingat bahwa Muhammadiyah adalah gerakan untuk umat, bukan sekadar organisasi untuk mencari keuntungan dan mencari kepentingan pribadi.
Akhirnya, perjuangan melawan kejumudan menjadi bagian dari jihad Muhammadiyah mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Muhammadiyah adalah Gerakan yang membawa misi peradaban, bukan sekadar organisasi. Jika keluarga besar Muhammadiyah mampu melampaui batas kejumudan, insyaAllah Muhammadiyah tidak sekedar bisa bertahan, tetapi juga memimpin di era globalisasi ini. Sejarah Muhammadiyah adalah sejarah keberanian melawan stagnasi. Kini, saatnya menggerakkan kembali keberanian itu, agar Muhammadiyah tetap menjadi lentera peradaban dalam dunia yang gelap oleh kebodohan dan kejumudan.(*)
Editor Notonegoro