Oleh: Imam Yudhianto SSH SE SPd MM – Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Maospati, Kabupaten Magetan.
PWMU.CO – Adanya berita mengenai kenaikan gaji guru Aparatur Sipil Negara (ASN) dan honorer di era Presiden Prabowo Subianto semestinya menjadi sebuah simfoni kesejahteraan, tetapi alih-alih menyalakan lilin harapan, fenomena ini menyingkap paradoks bahwa budaya konsumtif yang mengakar akan membajak esensi amanah.
Gaji yang bertambah menjadi jebakan glamor, sementara jiwa guru sebagai penjaga moral bangsa terancam redup oleh ambisi duniawi.
Allah SWT berfirman dalam al-Quran: “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 27)
Ayat ini adalah alarm bagi hati yang lalai. Gaya hidup boros bukan sekadar pengikisan materi, tetapi refleksi spiritualitas yang memudar. Ketika kenaikan gaji yang seharusnya menjadi berkah, tetapi justru digunakan untuk memenuhi gaya hidup konsumtif melalui utang bank, maka nilai amanah terdegradasi. Di balik seragam profesi mulia, tersembunyi ironi bahwa gaji naik, tetapi kedamaian batin menurun.
Muhammadiyah, dalam doktrin dan sejarahnya, mengajarkan nilai hidup sederhana. KH Ahmad Dahlan, pendiri gerakan ini, berkata: “Hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah.” Pesan ini menuntun kita bahwa pengabdian adalah tentang pelayanan yang ikhlas, bukan tentang eksploitasi peluang untuk memperkaya diri. Guru, sebagai penjaga peradaban, seharusnya menjadikan kesederhanaan sebagai mahkota.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani pernah mengingatkan, “Kenaikan gaji bukan sekadar penghargaan, tetapi amanah. Jika tidak dikelola dengan bijak, ia berubah menjadi jebakan.”
Refleksi tersebut sejalan dengan fenomena di lapangan yaitu rendahnya literasi keuangan yang membuat kenaikan pendapatan berakhir pada lingkaran kredit konsumtif. Tanpa perencanaan dan kontrol, uang hanya akan menguap dalam mimpi-mimpi semu yang tidak berakar pada kebutuhan esensial.
Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa “Kehormatan seorang guru terletak pada keikhlasannya, bukan pada kemewahan hidupnya.”
Keikhlasan adalah penanda seorang pendidik sejati namun, bagaimana seorang guru dapat menjadi mercusuar moral jika dirinya terperangkap dalam glamor kapitalisme?. Dari situlah kita menyaksikan sebuah kemerosotan. Mereka yang seharusnya mendidik karakter justru tenggelam dalam perlombaan gaya hidup.
Presiden Prabowo Subianto pernah menegaskan: “Guru bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk peradaban. Apa yang mereka lakukan mencerminkan nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi berikutnya.”
Kenaikan gaji tidak boleh dilihat sebagai peluang untuk memperbarui gengsi, tetapi justru dijadikan sebagai modal untuk memperkuat misi pendidikan. Guru adalah change agents yang tidak hanya mencerdaskan intelektualitas, tetapi juga mengasah nurani generasi penerus. Jika mereka terjebak dalam siklus utang konsumtif, bagaimana mungkin mereka dapat menjadi pelita yang menerangi jalan bangsa?.
Dalam tradisi Muhammadiyah, konsep fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) menjadi landasan pergerakan. Nilai ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kontribusi, bukan konsumsi. Sebagaimana ungkapan Buya Hamka, “Jika hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Jika bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.” Hidup yang bermakna adalah hidup yang berorientasi pada kebermanfaatan bagi sesama, bukan sekadar memenuhi hasrat material.
Realitas menunjukkan bahwa kenaikan gaji seringkali diiringi oleh dorongan konsumerisme yang agresif. Media dan iklan memoles ilusi kesuksesan sebagai kepemilikan barang-barang mewah. Dalam kondisi ini, nilai-nilai nrimo ing pandum (menerima apa yang dimiliki dengan syukur tanpa obsesi pada citra sosial) yang merupakan falsafah hidup orang Jawa dalam hal ini relevan. Nilai tersebut harus diterapkan di kalangan pendidik. Dengan begitu, mereka akan mampu membangun moral resilience di tengah badai materialisme.
Solusi atas fenomena ini harus komprehensif. Pemerintah perlu menjadikan literasi keuangan sebagai bagian integral dari pelatihan profesi guru.
Selain itu, Edukasi tentang pengelolaan pendapatan, investasi yang beretika, dan prioritas kebutuhan juga harus menjadi kurikulum wajib. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Harta yang paling baik adalah yang berada di tangan orang yang bertakwa.” (HR. Bukhari).
Kekayaan sejati tidak diukur dari jumlahnya, tetapi dari keberkahannya. Kenaikan gaji adalah peluang besar, tetapi juga ujian berat. Guru, sebagai penjaga moral bangsa, harus memimpin dengan memberikan teladan hidup sederhana, bermartabat, dan penuh keberkahan.
KH Ahmad Dahlan pernah berpesan, “Jangan memandang hidup dari harta, tetapi pandanglah dari kebermanfaatan.” Guru yang mampu menginternalisasi nilai tersebut akan menjadi figur yang membangun bangsa, bukan hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga menghidupkan akhlak mulia.
Mari jadikan momen kenaikan gaji ini sebagai titik balik, sebuah awakening menuju kesadaran kolektif yang baru. Jangan biarkan materialisme merampas amanah dan integritas. Para guru harus berdiri di garis terdepan untuk memimpin bangsa ini dengan teladan dan nilai-nilai luhur. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya menjadi bangsa yang maju secara ekonomi, tetapi juga kaya dalam karakter dan moralitas. Nashrun minallah wa fathun qarib. (*)
Editor Ni’matul Faizah