Oleh: Imam Yudhianto SSH SE SPd MM – Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Maospati, Kabupaten Magetan.
PWMU.CO – Saat ini, Indonesia terhuyung dalam badai krisis multidimensi di tengah derasnya arus globalisasi yang mengikis dimensi manusiawi. Generasi yang seharusnya menjadi penerus bangsa justru menghadirkan ironi yang menyakitkan.
Salah satunya yakni kejadian tragis remaja yang melompat dari ketinggian di Bekas. Kejadian tersebut bukan sekadar berita duka personal, melainkan sebuah alegori suram kegagalan sistemik. Pasalnya, sudah ada lebih dari 2.000 kasus bunuh diri dalam 11 tahun terakhir dan hampir separuhnya melibatkan remaja. Hal tersebut merupakan cerminan retaknya fondasi moral bangsa.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang tidak memiliki rasa kasih sayang, maka dia tidak akan disayangi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kasih sayang itu seolah tenggelam di tengah kompetisi materialistik yang kian menyesakkan. Dalam realitas ini, manusia teralienasi dari nilai kemanusiaan yang luhur, menyisakan hampa dalam jiwa para generasi muda yang seharusnya bertumbuh dengan optimisme.
Ironi yang lebih pilu, para pendidik, sosok yang diamanahi mencetak peradaban, justru kehilangan ruang gerak. Mereka direndahkan, dikriminalisasi, dan dipinggirkan dari panggung kehormatan sosial.
Dalam sistem yang terperangkap oleh sekularisme, guru seharusnya dijadikan figur moral, namun mereka justru diperlakukan sebagai mesin pengajar, terjebak dalam kejaran target kurikulum yang mencabut akar spiritualitas dari jiwa generasi penerus.
Padahal Allah SWT telah memperingatkan: “Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56).
Akan tetapi, sistem pendidikan kita telah bergeser jauh dari tujuan itu. Keberhasilan diukur dari angka-angka akademik yang membutakan, bukan dari nilai-nilai luhur yang menghidupkan.
Paradigma tersebut melahirkan generasi yang tercabut dari fitrahnya, layaknya pohon tanpa akar yang tumbang dihembus angin badai. Mereka hidup tanpa arah, terombang-ambing dalam pusaran hasrat duniawi yang kosong makna.
Rasulullah SAW mengingatkan, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah).
Akan tetapi, ilmu yang dimaksud bukan sekadar perangkat teknis kehidupan, melainkan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu yang memandu manusia menemukan hakikat penciptaannya, yang menyinari kegelapan dengan cahaya hidayah, serta yang meneguhkan iman di tengah gelombang fitnah zaman.
Paradigma pendidikan berbasis akidah Islam adalah solusi yang melampaui, daripada hanya sekadar tambal sulam. Pendidikan ini mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan Allah (shilah billâh) adalah poros utama. Melalui landasan ini, generasi muda akan menemukan moral compass yang kokoh, sehingga tekanan hidup tak akan mudah meruntuhkan integritas mereka.
Allah SWT berfirman: “Wa laa taqtuluu anfusakum, innlaha kaana bikum rahiiman.”
Artinya: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sungguh Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (QS An-Nisa: 29).
Penghormatan terhadap guru, sebagai penjaga ilmu dan pembentuk karakter bangsa, juga menjadi elemen krusial. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata:
“Guru adalah pembimbing yang membawa murid dari kegelapan ke cahaya ilmu.” Namun, dalam sistem sekuler, sosok guru kehilangan wibawa dan martabatnya. Mereka diperlakukan seperti roda gigi dalam mesin besar pendidikan yang kehilangan tujuan spiritual.
Sejarah Islam telah membuktikan keunggulan sistem pendidikan berbasis akidah. Dalam naungan Khilafah, ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Farabi lahir membawa perubahan besar dalam ilmu pengetahuan dunia.
Selain itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahkan menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya, memadukan ilmu duniawi dengan ukhrawi. Ini bukan sekadar melahirkan individu cemerlang, tetapi juga membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan bermartabat.
Saat ini, bangsa Indonesia berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi ada jalan mempertahankan sistem sekuler yang telah terbukti gagal, di sisi lain ada peluang kembali kepada prinsip pendidikan Islam yang komprehensif dan transformatif.
Rasulullah SAW bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).
Perubahan ini membutuhkan keberanian kolektif. Perubahan tidak dimulai dari istana, tetapi dari hati-hati kecil yang tersadarkan. Sebagaimana Allah berfirman: “Innallaha laa yughayyiru maa biqawmin hatta yughayyiruu maa bi-anfusihim.”
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11).
Nelson Mandela berkata, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” (Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia)
Pendidikan adalah senjata paling ampuh, jika diarahkan dengan benar. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang memperbudak manusia untuk dunia dan kembali pada sistem yang memuliakan manusia untuk akhirat.
Mari kita gerakkan perubahan ini. Sebuah generasi emas menanti untuk dilahirkan. Sebuah bangsa agung siap berdiri sebagai mercusuar dunia. Allahu Akbar. (*)
Editor Ni’matul Faizah