Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2024 melaporkan tentang kian menurunnya kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian yang pada 2022 sebesar 62% pada 2024 ini menjadi 48%. Responden menjadikan kelambanan dalam menangani kasus yang melibatkan orang berpengaruh dengan menjadikannya sebagai kasus “kurang prioritas” sebagai faktor menurunnya kepercayaan terhadap kinerja aparat kepolisian.
Hasil riset Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melaporkan bahwa hanya 40% dari semua laporan masyarakat yang masuk kategori “segera diproses” tanpa perlu campur tangan tekanan publik. Data ini mencerminkan realita pahit bahwa keadilan tidak lagi menjadi standar, tetapi pilihan.
Dalam amatan penulis, ada 3 faktor yang sering menjadi alasan pembenar atas lambannya penanganan kasus. Satu, alasan kurangnya kuatnya bukti. Dua, alasanterbatasnya jumlah aparat, sehingga perlu melakukan pemilahan kasus berdasar urgensi dan perhatian media, dan beban kerja. Dan tiga, prioritas atensi publik, meskipun bukan hal yang benar-benar membutuhkan penanganan cepat. Bukan rahasia lagi, prioritas penanganan kasus lebih karena menarik dan menjadi perhatian publik. Misalnya kasus orang kaya melawan orang miskin, selebriti, atau isu besar lainnya.
Kedepan, kita tidak boleh terus bertumpu pada medsos. Membenahi tata kerja sistem hukum menjadi hal utama. Beberapa langkah yang mendesak dilakukan:
1. Transparansi penanganan kasus. Pihak berwenang perlu membangun mekanisme pelaporan dan pelacakan kasus secara terbuka. Jika setiap laporan dapat dipantau prosesnya oleh publik, publik pun akan percaya bahwa kasus mereka tetap “bergerak”.
2. Penegakan aturan tanpa diskriminasi. Hukum harus menjadi pengendali lonceng keadilan, bukan mesin kekuasaan. Up grading untuk aparat penegak hukum terkait etika, profesionalitas, dan prinsip kesetaraan penting untuk dilakukan.
3. Audit dan peningkatan kapasitas aparat. Polisi tak sepenuhnya salah dengan tertundanya sejumlah kasus. Tekanan kerja luar biasa dan minimnya sumber daya menjadi alasan masuk logis. Namun jangan menjadi alasan pembenaran. Pemerintah wajib mengalokasikan sumber daya tambahan dan melakukan audit berkala terhadap kinerja kepolisian.
4. Edukasi masyarakat terkait kesadaran tentang hak-hak mereka dan prosedur hukum dapat mengurangi ketergantungan pada media sosial untuk mencari keadilan.
Dunia kini dikuasai kekuatan digital. Jari-jari manusia telah menjelma menjadi kekuatan dunia maya. Tetapi, kita harus paham penegakan keadilan tidak boleh bergantung pada medsos semata. Penegak hukum perlu memahami bahwa tanggung jawab utama mereka adalah melayani rakyat, bukan sekadar “mengarahkan spotlight” dari isu viral.
“No Viral, No Justice” merupakan tagline satire atas kenyataan pahit. Saatnya hukum berjalan tanpa mengenal hashtag. Keadilan harus hadir karena sistem hukum berfungsi sebagaimana mestinya. Jika tidak, mungkin keadilan hanya akan benar-benar ada di jari jemari kita—di antara klik dan share, menjadi komoditas, bukan lagi hak asasi manusia.
Mari kita renungkan, keadilan yang tergantung pada gelombang medsos bukanlah keadilan sejati. Ia hanya bayangan dari sistem yang cacat. Reformasi hukum bukan sekadar kebutuhan, tetapi panggilan mendesak untuk segera memperbaiki kepercayaan publik dengan menjunjung tinggi keadilan. Viralitas bukanlah syarat penanganan hukum yang keadilan Jadikan hukum sebagai pilar kokoh untuk melindungi semua tanpa pandang bulu.
Editor Notonegoro