PWMU.CO – Presiden Prabowo Subianto memberikan tawaran kepada para koruptor untuk bertobat dengan ketentuan mereka mengembalikan seluruh hasil korupsi kepada negara. Hal ini disampaikan dalam pidatonya di depan mahasiswa Indonesia di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada Rabu (18/12/2024).
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id, dalam menanggapi hal tersebut, Satria Unggul Wicaksana, seorang pakar hukum dari UM Surabaya, menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara akibat tindak korupsi tidak menghilangkan tanggung jawab pidana bagi pelaku, baik yang berasal dari kalangan pejabat publik maupun swasta.
“Hal ini jelas tertuang di dalam pasal 4 Undang-undang Tipikor yang menjelaskan bahwa pengembalian keuangan negara tidak menghapus jerat pidana. Karena secara kontruksi yang pertama tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime sehingga dalam penanganannya tentu dia tidak bisa seperti kejahatan biasa,” jelas Satria Jumat (20/12/2024).
Kedua, menurut Satria, dari sisi niat atau mens rea, memang terdapat niat jahat yang jelas untuk mengambil keuangan negara atau melakukan tindakan-tindakan terkait dengan motif korupsi, seperti suap, penggelapan, dan lain-lain. Oleh karena itu, kejahatan korupsi yang luar biasa ini tidak dapat diperlakukan sama seperti kejahatan pada umumnya.
Satria menegaskan bahwa seharusnya presiden lebih fokus pada strategi pemberantasan korupsi, yang rujukannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 mengenai ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB tentang anti korupsi. Di dalamnya terdapat tiga paradigma utama dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Yang pertama dalam pencegahan, yang kedua adalah penegakkan hukum, dan yang ketiga adalah assets recovery,” tambahnya.
Koruptor
Satria meyakini bahwa tujuan presiden adalah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, yang harus menjadi fokus utama adalah pemulihan aset. Pemulihan aset ini dapat diatur dalam RUU perampasan aset yang sebenarnya sudah ada di parlemen dan kini hanya menunggu keputusan politik hukum dari DPR dan Presiden untuk disahkan.
Ia menyatakan bahwa kepentingan anggota dewan dan oligarki menjadi hambatan dalam pengesahan RUU perampasan aset tersebut. Menurutnya, RUU perampasan aset itu sangat penting.
“Jadi bagaimana return the asset yang memulangkan aset dengan proses hukum yang relevan dan tepat melalui prosedur pengembalian uang kepada negara. Entah itu dari korupsi atau money laundry misalkan pencucian uang,” tegas Satria.
Satria menambahkan bahwa seharusnya presiden, sebagai pemimpin tertinggi negara atau chief of commander, dapat mendorong langkah tersebut. Bukan dengan memberikan pengampunan kepada koruptor jika mereka mengakui perbuatannya.
Yang menjadi fokus utama, menurut Satria, adalah sejauh mana peran lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Sebagai leading sector, KPK memiliki kewenangan, begitu pula dengan kepolisian dan kejaksaan, untuk memastikan bahwa langkah-langkah hukum yang diambil benar-benar dalam kerangka pemberantasan korupsi.
Terlebih lagi, ketiga lembaga tersebut berada di bawah Presiden, khususnya KPK setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang menempatkan KPK di bawah Presiden.
“Nah sekali lagi tentu ini sangat subjektif, artinya subjektif ini tergantung presiden. Karena kita tahu cara pemberantasan korupsi pasca undang-undang nomor 19 tahun 2019 ini cukup lemah karena KPK tidak ditempatkan lagi sebagai lembaga independen tetapi lembaga yang berada di bawah presiden,” tutupnya. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Azrohal Hasan