oleh Alfi Saifullah – penulis kolom, buku biografi & sejarah
PWMU.CO – Banyak ayat Al-Qur’an yang turunnya karena serangkaian peristiwa atau adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya (asbabun nuzul). Hal ini seoalah sebagai penanda bahwa segala sesuatu yang terjadi pada umumnya karena ada faktor latar belakang, tak terkecuali juga berkaitan dengan sebuah pemikiran. Konstruksi pada pemikiran juga tidak muncul begitu saja, independen, dan an sich entitasnya. Sebuah pemikiran memiliki kaitan erat dalam konteks ruang dan waktu. Kondisi sosial, budaya, ekonomi maupun politik bisa menjadi faktor pemantik lahirnya suatu pemikiran.
Teologi Al-Ma’un merupakan suatu pemikiran yang lahir di awal abad ke 20, ketika imperialisme dan kolonialisme tengah mencengkram Kawasan kepulauan Nusantara. Hak dasar masyarakat pribumi sebagai manusia terenggut tanpa harga. Kaum pribumi ini tidak memiliki akses pada kelayakan hidup seperti manusia pada umumnya. Kebebasan individu, pendidikan yang layak, serta kesejahteraan ekonomi yang baik terampas oleh kebijakan politik kaum penjajah. Masyarakat pribumi pun terjerembab dalam jurang inlander, strata sosial yang menurut kaum imperialis setara dengan orang idiot.
Dus, kemudian lahirlah gerakan sosial keagamaan yang ber-Teologi Al-Ma’un sebagai solusi untuk keluar dari problematika tersebut.
Dialektika kesalehan ritual & kesalehan sosial
Sebagai agama, Islam hadir untuk memberikan solusi berkaitan urusan dunia dan akhirat. Ritualitas dalam Islam tidak hanya berhubungan dengan ritus normatif (habl min Allah), namun juga berkaitan dengan aspek-aspek sosial (habl min an-Nas). Bahkan, pada aspek sosial (muamalah) ini menempati posisi sangat penting, melebihi porsi pada sisi ritual formal (ibadah mahdhah). Ibadah mahdhah tertentu bahkan apabila tidak mampu terlaksana karena terhalang beberapa hal, dapat berganti dengan ibadah yang bersifat sosial. Puasa Ramadhan, misalnya, karena tidak mungkin atau tidak mampu tertunaikan. Maka ibadah tersebut boleh menukarnya dengan membayar fidyah. Sebaliknya justru ketika seseorang melanggar etika sosial, maka tidak dapat diganti. Misalnya, ketika kita melakukan kesalahan kepada seseorang, maka kesalahan itu tidak dapat terhapus oleh istighfar yang walau terucapkan seribu kali. Kesalahan itu hanya bisa tersucikan oleh permintaan maaf kepada yang tersakiti.
Dalam Al-Qur’an, perintah shalat sebagai simbol ritual bagai pasangan yang tak terpisahkan dengan perintah mengeluakan zakat. Dalam QS Al-Baqarah: 83, Al-Maarij: 22-28 dan Surat Al-Maun menjadi perhatian utama Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam membaca kondisi umat Islam saat itu. Ayatullah Khomeini dalam Hukumat Al-Islamiyah menegaskan bahwa “1 ayat ibadah itu berbanding dengan 100 ayat mu’amalah” (Rahmat, 1986, hal 48). Karena itulah para cendikiawan akhirnya mengklasifikasi kesalehan menjadi dengan kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
Dalam prakteknya secara umum, umat Islam awal abad ke 20 lebih fokus terhadap urusan ritual, bahkan ritual tambahan. Akibatnya mereka mengalami kemunduran atau ketertinggalan, dan kemudian tereksploitasi oleh pihak lain.
Memperhatikan fenomena sosial keagamaan yang demikian itu, Kyai Haji Ahmad Dahlan tergugah untuk melakukan penyadaran dan perubahan. Beliau pun menyalakan obor perubahan — yang saat ini populer sebagai Spirit Surat Al-Ma’un. Al-Ma’un merupakan surat dalam Al-Qur’an yang turun pada periode awal Islam.
Dengan semangat Al-Ma’un, Kyai Dahlan menggugah umat Islam (utamanya kaum ulama) untuk bangkit dari tidur panjangnya. Kiai Dahlan mengingatkan pentingnya merealisasi dan implementasi ajaran Islam yang tidak cukup dalam level ritual, namun juga harus merambah pada aspek sosial. Dengan demikian, manfaat Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin akan terasakan kehadirannya oleh seluruh umat.
Teologi Al-Ma’un pasca Kyai Dahlan
Spirit Teologi Al-Maun Kyai Dahlan tidak pernah lekang oleh zaman. Gagasan yang mensintesakan kesalehan ritual dengan sosial menjadi diskursus tersendiri dikalangan ilmuwan — baik muslim maupun nonmuslim — di Indonesia maupun internasional selama beberapa dekade. Tidak sedikit yang menjadikan gagasan Kiai Dahlan sebagai magnum opus tersendiri dalam karya-karya mereka. “Islam Alternatif”nya Jalaluddin Rahmat, “Tauhid Sosial”nya Amien Rais, atau “Islam Transformatif” nya Moeslim Abdurrahman menjadi bukti nyata.
Hanya, pemisahan kesalehan ritual dan sosial sempat mendapat kritik dari KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Dalam satu tulisannya, Gus Mus memandang bahwa tidak ada klasifikasi semacam itu. Gus Mus menyebut “hanya ada satu bentuk kesalehan”, kesalehan hamba terhadap Tuhan-Nya.
“Padahal kesalehan dalam Islam hanya satu. Yaitu kesalehan muttaqi (hamba yang bertaqwa) atau dengan istilah lain,mukmin yang beramal saleh. Kesalehan yang mencakup sekaligus ritual dan sosial”, kata Gus Mus(Gus Mus, 2016;37).
Paradigma yang dipakai Gus Mus memang tidak salah, karena beliau cenderung terhadap esensi (hakikat). Tetapi jika semua hal dan peristiwa bersandarnya kepada Allah, maka tidak akan terjadi klasifikasi. Tapi hanya sebagai entitas tunggal. Seperti baik buruk atau benar salah pasti akan luruh di sisiNya. Klasifikasi oleh para cendikiawan atas sesungguhnya asdalah untuk memudahkan dalam beberapa kajian ilmu sosial.
Ikhtitam
Pada akhirnya, yang lebih penting adalah upaya merealisasikan gagasan dalam bentuk aksi-aksi nyata. Meminjam ungkapan Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama, “Ngelmu iku kalakone kanti laku” (Sebuah pengetahuan akan terwujud jika di realisasikan dalam aksi). Dengan demikian, sebagai umat Islam kita akan layak menyandang predikat ‘sebaik-baik umat’. Umat yang dilahirkan untuk menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS Al-Imron:110). Wallahu a’lam bish shawab.
Editor Notonegoro