Oleh L.ya Esty Pratiwi SH, MH, CMe – Dosen Fakultas Hukum UMSurabaya, APIMU Regional Jatim
PWMU.CO – Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang stabilitas sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa. Dalam upayanya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah kerap meluncurkan berbagai program besar dengan alokasi anggaran yang signifikan, melibatkan beragam pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta dan masyarakat. Program-program ini sebagai rancangan untuk memastikan ketersediaan, aksesibilitas, dan keberlanjutan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada akhirnya berharap dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun masih terdapat potensi ancaman serius yang tidak boleh diabaikan, yakni conflict of interest atau konflik kepentingan. Ketidakseimbangan atau benturan kepentingan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program dapat membuka celah bagi berbagai bentuk penyimpangan, seperti penyalahgunaan wewenang, pengambilan keputusan yang tidak objektif, hingga tindak korupsi. Akibatnya, bukan hanya tujuan program yang gagal tercapai, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa terkikis.
Oleh karena itu, ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan secara serius untuk memastikan integritas dan keberhasilan program ketahanan pangan. Yaitu:
1. Transparansi dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Program
Program ketahanan pangan sering kali melibatkan alokasi anggaran besar dan kebijakan strategis yang mencakup seluruh rantai distribusi pangan, mulai dari produsen hingga konsumen. Tanpa transparansi, risiko conflict of interest atau konflik kepentingan dapat meningkat secara signifikan, terutama ketika pejabat publik atau pengambil keputusan memiliki keterkaitan pribadi dengan sektor agribisnis atau distribusi pangan. Berdasarkan laporan Transparency International, konflik kepentingan sering menjadi akar dari praktik korupsi, terutama dalam kebijakan publik yang memanfaatkan sumber daya dalam jumlah besar. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah harus menerapkan sistem pengawasan berbasis teknologi, seperti blockchain, guna memastikan setiap anggaran dapat terpantau secara transparan, sehingga meningkatkan akuntabilitas dalam setiap tahapan program.
2. Kepentingan Bisnis versus Kepentingan Publik
Program ketahanan pangan kerap melibatkan kemitraan dengan sektor swasta untuk mendukung pendanaan dan pelaksanaan proyek. Namun, tanpa pengawasan yang memadai, pejabat publik yang memiliki hubungan pribadi dengan pelaku bisnis dapat mengarahkan proyek kepada perusahaan tertentu, membuka peluang bagi praktik penyalahgunaan wewenang. Penelitian oleh OECD menunjukkan bahwa konflik kepentingan dalam kemitraan publik-swasta tidak hanya merugikan masyarakat dengan meningkatnya biaya proyek. Tetapi juga menurunkan kualitas hasil yang diterima. Untuk mengurangi risiko ini, pemerintah perlu menegakkan aturan seperti cooling-off period, yaitu larangan bagi pejabat publik untuk bekerja di sektor swasta terkait dalam jangka waktu tertentu setelah meninggalkan jabatannya. Aturan ini relevan untuk menjaga integritas dan mencegah konflik kepentingan.
3. Keterlibatan Masyarakat untuk Meningkatkan Akuntabilitas
Keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan program ketahanan pangan merupakan salah satu strategi paling efektif untuk mencegah konflik kepentingan. Studi oleh World Bank menunjukkan bahwa partisipasi aktif masyarakat dalam memantau program-program publik dapat mengurangi risiko korupsi hingga 30%. Untuk mendukung hal ini, pemerintah harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan melindungi pelapor (whistleblower), serta membangun komunikasi dua arah yang aktif dengan masyarakat. Pelibatan masyarakat tidak hanya memperkuat transparansi, tetapi juga menciptakan pengawasan independen yang mampu meningkatkan efektivitas dan integritas program ketahanan pangan secara keseluruhan.Salah satu cara efektif untuk mencegah conflict of interest adalah melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan program ketahanan pangan. Studi oleh World Bank menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam memantau program publik mengurangi risiko korupsi hingga 30%. Pemerintah harus menyediakan mekanisme pelaporan yang melindungi pelapor (whistleblower) dan membangun komunikasi dua arah dengan masyarakat guna menciptakan pengawasan yang kuat.
Ketahanan pangan bukan sekadar sebuah program atau kebijakan jangka pendek, melainkan bagian strategis dari kedaulatan bangsa yang memiliki dampak langsung terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Ketahanan pangan yang terjaga dengan baik mampu menjamin keberlanjutan hidup masyarakat, mengurangi ketergantungan pada impor, serta memperkuat posisi negara dalam menghadapi dinamika global yang semakin kompleks. Oleh karena itu, ketahanan pangan menuntut integritas tinggi dalam setiap tahapannya, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Namun, realisasi program ketahanan pangan kerap menghadapi ancaman serius berupa conflict of interest atau konflik kepentingan. Jika tidak terkelola dengan baik, konflik kepentingan dapat membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, pengambilan keputusan yang tidak adil, hingga praktik korupsi yang pada akhirnya merusak fondasi program ini. Penyalahgunaan semacam ini tidak hanya menghambat pencapaian tujuan, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan, dampaknya dapat meluas, seperti meningkatnya kerentanan pangan dan ketimpangan sosial yang membahayakan stabilitas nasional.
Sebagai langkah mitigasi, penerapan mekanisme transparansi berbasis data menjadi elemen kunci dalam membangun kepercayaan dan akuntabilitas. Penggunaan teknologi modern, seperti blockchain, dapat memastikan setiap alokasi anggaran dapat terlacak dengan jelas dan tidak ada penyimpangan. Selain itu, pengawasan multisektor yang melibatkan lembaga independen, masyarakat sipil, serta media, sangat penting untuk meminimalkan potensi penyimpangan. Penguatan akuntabilitas pejabat publik juga merupakan langkah krusial. Setiap individu yang terlibat dalam program ketahanan pangan harus mematuhi prinsip-prinsip etika yang ketat, termasuk menghindari keterlibatan langsung dalam kegiatan atau bisnis yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Kebijakan seperti cooling-off period, yaitu pejabat publik tidak boleh bekerja pada sektor terkait setelah meninggalkan jabatannya. Maka perlu diterapkan untuk memastikan netralitas dan integritas.
Selain itu, membangun sinergi dengan masyarakat sebagai pengawas independen memberikan kekuatan kontrol tambahan yang efektif. Pelibatan aktif masyarakat melalui mekanisme pelaporan yang aman (whistleblower system) dan program edukasi dapat meningkatkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga integritas dalam program ini. Studi menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat mampu menekan risiko korupsi secara signifikan, menjadikan mereka mitra strategis dalam memastikan keberhasilan program.
Editor Notonegoro