Oleh Muhammad Irfan Hakim – Anggota Majelis Lingkungan Hidup & Resiliensi Bencana Pimpinan Daerah Muhammadiyah Malang
PWMU.CO – Kehidupan itu bukan hanya tentang kita belaka, tapi juga tentang nenek moyang dan anak cucu kita serta makhluk hidup lainnya. Keberadaan kita tidak bisa dilepaskan dari peran nenek moyang kita yang telah menjaga keberlangsungan kehidupan demi generasi berikutnya. Atas perannya itu juga, kelestarian kekayaan lingkungan hingga kini masih masih ada.
Sulit untuk membayangkan andai nenek moyang dulu tidak memikirkan atau mempedulikan generasi berikutnya. Andai dulu mereka egois, semena-mena, menciptakan kerusakan yang menyeluruh, eksploitasi terhadap alam secara sebesar-besarnya dan sebagainya. Mungkin kini kita tidak pernah merasakan nikmatnya hidup dengan nyaman. Mungkin pula kita tidak pernah menikmati kekayaan alam yang terhampar ini.
Karena itu, sungguh betapa baik dan mulianya nenek moyang kita yang mempedulikan nasib generasi setelahnya, anak cucunya. Mereka tidak memper’tuhan’kan egonya demi kepuasan hasrat nafsunya. Mereka mampu menahan nafsu merusak bumi demi untuk menjaga alam agar tetap lestari.
Ancaman apokaliptik ekologis
Namun kini kita justru melihat kerusakan lingkungan yang berlangsung tanpa henti. Kerusakan demi kerusakan kita saksikan, bahkan secara sadar pun kita turut andil dalam melakukan kerusakan tersebut. Eksploitasi lingkungan terus berjalan, laju deforestasi tak terhentikan, dan pencemaran —air, tanah, udara — makin parah serta membahayakan.
Dampak buruknya kini sudah makint terasa. Mulai dari merasakan suhu udara yang kian gerah (bhs. Jawa: sumuk), belum lagi dengan udara kotor yang mencemari raut wajah kita. Di sisi lain, sebagian saudara kita terdampak dan menjadi korban bencana ekologis. Berita banjir, tanah longsor, krisis air dan penyakit paru-paru karena polusi udara hampir tiap hari kita mendengarnya.
Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini tidak terlepas dari ulah tangan manusia sendiri. Termasuk tangan kita yang secara sadar atau tidak sadar turut andil dalam membuat kerusakan tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, ternyata juga meninggalkan dampak negatif-destruktif, meski tidak memungkiri bahwa ada dampak positifnya terhadap lingkungan.
Satu hal yang terasa sangat mengerikan dalam kehidupan ini, yaitu mengarah pada “apokaliptik ekologis”. Suatu kondisi yang mengarah pada kehancuran total atau kebinasaan. Terminologi agama menyebutnya “kiamat”.
Penghuni terakhir
Jika kerusakan yang nyata ini terus terbiarkan dan terabaikan, mungkinkah ada jaminan keberadaan kita aman hingga sekian tahun berikutnya? Atau mungkinkah saat ini kita merupakan penghuni terakhir alam semesta ini? Prediksi-prediksi saintifik tentang kerusakan lingkungan di masa depan sudah terpampang, mengancam keselamatan hajat hidup semua makhluk. Karena itu, janganlah kaget jika ternyata kita merupakan penghuni terakhir semesta alam ini.
Apokaliptik atau kiamat ekologis memang sudah sangat dekat. Karenanya kita jangan hanya berdiam diri. Berdiam diri menunggu takdir tentang datangnya kiamat ekonomi bukanlah solusi. Pembiaran terhadap ketidakberesan (kedzaliman) merupakan bagian dari kedzaliman itu sendiri. Sadar dan bergerak sudah menjadi keniscayaan kita hari ini. Kita harus menjadi generasi terakhir yang menghentikan kerusakan, melakukan eko-jihad melawan kerusakan, bukan menjadi generasi terakhir yang hilang dari peradaban sebab kerusakan.
Taubat nasuha ekologis
Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat maupun di laut, disebabkan oleh ulah tangan manusia” (Ar-Rum:41). Melalui ayat Al-Qur’an tersebut mari kita mencoba lakukan refleksi, apakah tangan kita turut andil dalam mendorong terjadinya kerusakan semesta ini? Mungkinkah karena kita telah menjadi makhluk yang serakah, angkuh dan penuh hawa nafsu sehingga semesta ini sampai mengalami kerusakan? Semoga tidak demikian. Semoga tangan kita masih bersih dari noda dosa perusakan yang terjadi.
Tapi mungkin tanpa sadar kita pernah atau bahkan masih berbuat kerusakan, kini saatnya kita bertaubat. Atau lebih tepatnya “taubat nasuha ekologis”, yakni taubat secara sungguh-sungguh karena turut andil dalam terjadinya kerusakan lingkungan ini.
Dalam Islam, taubat yang dapat dikatakan nasuha dan dapat diterima harus melalui beberapa langkah. Satu, mengakui bahwa perilaku yang menjurus pada perbuatan merusak lingkungan itu salah. Dua, menyesali kesalahan yang dilakukan. Tiga, berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi. Dan empat, menukarnya atau menimbun perbuatan salah dengan perbuatan baik. Dalam konteks taubat nasuha ekologis, mengganti perbuatan merusak dengan perbuatan yang melestarikan.
Kesadaran ekologis lintas generasi
Kesadaran lintas generasi tentu lebih mulia daripada hanya memikirkan ego, memuaskan hasrat nafsunya tanpa memikirkan keberlanjutan (sutainablity) kehidupan generasi mendatang. Kesadaran ini harus kita tumbuh-kembangkan, agar tidak lagi turut andil dalam terjadinya kerusakan atau bahkan menyumbang percepatan terjadinya kiamat ekologis. Merupakan sebuah dosa jariyah jika tindakan merusak itu berdampak secara berkelanjutan hingga di waktu-waktu datang. Terlebih lagi bila sampai mengancam eksistensi kehidupan semua makhluk di masa mendatang.
Sangat banyak kita temukan pada kearifan lokal nenek moyang terdahulu yang bisa menjadi pemantik kesadaran ekologi. Dalam filosofi Jawa ada ungkapan “Memayu hayuning bawana”, yang maknanya mempercantik cantiknya alam semesta. Bagi orang Jawa, semesta yang sudah cantik pun harus tetap dipercantik agar tampak semakin cantik. Lingkungan yang sudah lestari pun juga harus kita lestarikan lagi. Inilah yang menunjukkan adanya kesadaran untuk peduli pada kehidupan secara keberlanjutan.
Nenek moyang kita dulu benar-benar memerankan diri sebagai khalifatullah fil ardh sebagai amanah dari Allah. Amanah untuk memelihara, mengayomi, dan menjaga kelestarian bumi. Dengan memegang teguh amanah itulah, kelestarian dan keberlanjutan kehidupan masih ada hingga saat ini. Jika nenek moyang kita mampu, mengapa kita tidak bisa?
Kini, saatnya kita menghidupkan Kembali kesadaran warisan nenek moyang itu. Kita patut saar bahwa perbuatan hari ini akan berimplikasi pada kehidupan berikutnya. Kerusakan yang tercipta hari ini pasti akan berakibat buruk pada generasi mendatang. Maka upaya kebaikan dan pelestarian harus kita lakukan, agar berdampak baik bagi kehidupan mendatang.
Editor Notonegoro