Oleh Muhsin MK – Penggiat Sosial
PWMU.CO – Perkembangan pendidikan Muhammadiyah, sungguh menggembirakan. Pertumbuhan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) kian hari kian berkembang pesat. Bahkan pertumbuhan fakultas kedokteran sebagai fakultas favorit seolah sebagai fakta nyata, baik yang ada di Muhammadiyah maupun Aisyiyah. Pendek kata, kualitas pendidikan Muhammadiyah semakin baik dan diakui — baik di Indonesia maupun dunia. Selain itu, keberadaan peserta didik semakin bertambah meningkat kuantitas dan kualitasnya. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pun bisa diterima dengan baik oleh publik, termasuk pada daerah-daerah yang jumlah Muslim-nya atau Muhammadiyah-nya minoritas seperti: Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara (Sulut).
Namun jika kita teropong lebih jauh, problematika pasti selalu ada yang menggelayuti tubuh pendidikan Muhammadiyah ini. Apalagi kini pendidikan Muhammadiyah tidak hanya berada pada daerah perkotaan saja, tetapi juga telah menyebar merata sampai daerah pedesaan. Tentunya dengan berbagai ragam keterbatasan pada sumber ekonominya.
Sarana Pendidikan Muhammadiyah di daerah perkotaan mungkin jauh lebih maju daripada yang berada pada daerah pedesaan. Walau tidak terpungkiri pula ada juga lembaga pendidikan Muhammadiyah pada daerah pedesaan yang mengalami suatu kemajuan yang luar biasa, dan masyarakat pun bisa merasakan keberadaannya atau kehadirannya.
Di Kabupaten Lamongan, misalnya, lembaga pendidikan Muhammadiyah bertumbuh-kembang dan cukup berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakat sekitarnya. Pondok Pesantren Muhammadiyah yang berdiri di daerah ini sangat menonjol keberadaannya. Masyarakat sekitarnya bisa merasakan dampak positifnya.
Ponpes Muhammadiyah tersebut telah melahirkan banyak tokoh, baik tokoh Persyarikatan, tokoh umat maupun tokoh bangsa, bahkan juga tokoh dunia. Ustadz Imam Samsi Ali — yang beberapa kali menulis di PWMU.CO — kini merupakan mubaligh yang sedang melakukan dakwah di New York, Amerika Serikat. Ia merupakan alumni Ponpes Muhammadiyah Darul Arqom, Gombara, Sulawesi Selatan. Doktor Adi Hidayat MA yang merupakan da’i terpopuler secara nasional saat ini merupakan alumni Pesantren Darul Arqom Garut, Jawa Barat.
Tak ada gading tak retak
Meski sejumlah kemajuan mampu diwujudkan Muhammadiyah dalam jalur pendidikan, bukan berarti tanpa ada kekurangan. Masih terdapat sejumlah kekurangan pada bidang pendidikan di Muhammadiyah yang membutuhkan penanganan serius. Pertama, berkaitan dengan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini umumnya menimpa sebagian mereka yang mengabdi pada lembaga pendidikan Muhammadiyah tingkat dasar dan menengah, termasuk PAUD dan TK ABA. Meski sebagian sudah cukup baik kesejahteraannya, tapi masih banyak yang sesungguhnya masih cukup memprihatinkan.
Akibatnya, sebagian mereka terdorong untuk mencari peluang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau mencari tambahan diluar jam mengabdinya pada lembaga pendidikan Muhammadiyah. Keadaan ini tentu berpengaruh kepada kualitas kerja dan disiplin mereka sebagai guru dan tenaga pendidikan Muhammadiyah yang diharapkan dapat memajukan kualitas pendidikan agar lebih baik,
Kedua, problematika sumber daya manusia (SDM) yang kualitasnya sesuai dengan kebutuhan, baik yang berhubungan dengan keilmuan dan profesi di bidang pendidikan, dan utamanya yang mengideologis dengan faham Al-Islam dan ke-Muhammadiyahan. Masalah keilmuan dan profesi ini terlihat dari masih adanya gelar guru non pendidikan, serta masuknya kader-kader non Muhammadiyah yang mengajar di lembaga pendidikannya.
Menghadapi problematika tersebut, memerlukan solusi yang bersifat komprehensif, setidaknya dapat meminimalisirnya. Sehingga kualitas pendidikan Muhammadiyah menjadi lebih baik dan lebih berkemajuan. Solusi yang pernah ditawarkan adalah melakukan gerakan pengumpulan dana infaq 111 miliar.
Persoalannya, apakah sudah terkumpul sejumlah uang sesuai perencanaan, dan bagaimana penyalurannya untuk membantu kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan Muhammadiyah? Hingga kini belum pernah terdengar kabar beritanya. Kini yang sudah terberitakan hanyalah bantuan kesejahteraan 1000 guru dan tenaga kependidikan Muhammadiyah di Jawa Timur.
Solusi berikutnya adalah melakukan kerja sama antara Dikdasmen Muhammadiyah — sebagai pengayom lembaga pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah — dengan Dikti Litbang Muhammadiyah — sebagai PTM. PTM yang telah membuka program studi pendidikan (dan non kependidikan) bisa memberikan harapan masifnya kemunculan tenaga guru dan kependidikan yang sesuai dengan harapan. Tentunya tenaga guru dan kependidian yang berideologi Muhammadiyah.
Peran kader
Peran kader kader Muhammadiyah yang bergabung dalam Pemuda Muhammadiyah (PM), Nasyiatul Aisyiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), serta Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) juga perlu mendapat prioritas. Para kader organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah itu harus mempersiapkan diri untuk hadir sebagai tenaga pendidik dan kependidikan pada lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah
Bila semua unsur pemimpin dan anggota Muhammadiyah dan ortomnya bersatu dan solid dalam mempedulikan keberadaan pendidikan Muhammadiyah ini, maka apapun problematika dan masalah yang dihadapinya tentu akan bisa diatasi dengan baik dan tuntas, dengan hasil yang maksimal.
Pengalaman Muhammadiyah selama 112 tahun dalam bergelut pada dunia pendidikan, harapan kedepannya tidak ada lagi problematika kesejahteraan dan SDM dalam lembaga pendidikan. Wallahu ‘alam.
Editor Notonegoro