
Oleh Moh. Helman Sueb – Pembina Pesantren Muhammadiyah Babat, Lamongan
PWMU.CO – Iman tidak hanya sekedar percaya. Iman merupakan keyakinan dalam hati yang terucapkan melalui lisan dan anggota tubuh yang mengaktualisasikan dalam tindakan. Demikian batasan iman menurut para ulama. Berdasar pengertian tersebut, maka sesungguhnya iman itu perlu penegaskan melalui ikrar, dan pembuktian dengan perilaku.
Beriman kepada Allah subhaanahu wa ta’ala berarti siap menjalankan kepatuhan kepada-Nya dalam kondisi dan situasi apapun. Termasuk kapanpun dan dimana pun. Dalam diri orang beriman selalu ada rasa takut terhadap murka-Nya dan ada perasaan selalu dalam pengawasan-Nya. Setiap sepak -terjangnya selalu berawal dari berpikir mendalam sebelum melakukan tindakan. Dengan kata lain, setiap langkahnya berlandaskan pertimbangan yang matang.
Beriman kepada Allah Swt selalu berlekatan dengan beriman kepada Hari Akhir. Hari Akhir yang masih rahasia tersebut, bahkan Nabi Muhammad shalallahu alayhi was salam sendiri tidak mengetahuinya kapan akan terjadinya. Rahasia kedatangannya menjadi kesempatan orang-orang beriman untuk menyiapkan bekal berupa amal sholeh.
Beramal sholeh berarti melakukan hal-hal yang baik menurut Allah dan Rasul Allah. Berbuat baik memang sangat mudah pengucapannya, tetapi belum tentu setiap orang yang beriman mampu mengerjakan secara Ikhlas dan bersuka-cita. Pengaruh negatif hawa nafsu yang berkolaborasi dengan rayuan setan seringkali menjadi penghalang.
Jika kita memperkuat sektor keimanan “kepada Allah dan kepada Hari Akhir”, maka dalam kehidupan ini kita sangat mungkin memiliki peluang besar untuk selalu mengerjakan amal sholeh. Menjadi terbiasa shalat lima waktu, sukarela mengeluarkan sebagian harta untuk membantu sesame dan amaliah-amaliah lainnya.
Dalam hadis, beriman kepada Allah dan Hari Akhir itu memiliki konsekuensi untuk selalu berucap yang baik atau diam jika tidak mampu berucap yang baik, memuliakan tamu dan menghormati tetangga.
Nabi bersabda:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ)
رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa hendaknya) dia diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim)
Menilik hadis tersebut, ada kandungan yang sangat penting. Yaitu keimanan kepada Allah dan Hari Akhir menjadi pondasi untuk meningkatkan hubungan kita kepada Allah dengan meningkatkan ketaatan kepada-Nya melalui jalan ketakwaan. Di samping itu, hadis tersebut menginspiras orang-orang yang beriman agar mengedepankan akhlakul karimah dalam pergaulan.
Pembuktian kita dalam iman ada pada diri sendiri. Apakah kita termasuk orang yang beriman, ataukah masih biasa-biasa saja atau menjadi mukmin sejati. Tentu jawaban itu kembali pada diri sendiri. Mengevaluasi diri sebagai alat deteksi fluktuasi atau naik turunnya iman, menjadi sangat penting.
Editor Notonegoro