
PWMU.CO – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengumumkan bahwa Ujian Nasional (UN) tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) akan digantikan dengan Tes Kompetensi Akademik (TKA) mulai tahun ini. Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Toni Toharudin, menjelaskan bahwa TKA tidak akan digunakan sebagai standar kelulusan.
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id, Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Achmad Hidayatullah mengatakan, guru di sekolah tidak perlu khawatir mengenai hal ini.
“Artinya dengan kebijakan ini, banyak faktor lain yang bisa dijadikan guru sebagai alat untuk menentukan kelulusan,” tutur Dayat Jumat (28/02/2025).
Dayat mengatakan, sistem ujian yang bukan penentu kelulusan ini lebih dekat pada paradigma assemmen yang berbasis teori cognitive-constuctivisme.
“Siswa tidak lagi divonis lulus dan tidak, namun lebih didorong untuk membangun sistem mental belajar yang baik. Karena nilai tinggi dan rendah lebih pada hasil dari belajar bukan vonis lulus atau tidak,” tambahnya.
Tes Kompetensi Akademik (TKA)
Namun, menurut Dayat tentu yang akan memacu semangat guru dan siswa adalah saat tes kompetensi akademik ini dapat dijadikan sebagai tiket untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi melalu jalur prestasi.
“Saya melihat ada upaya dari pemerintahan Presiden Prabowo dalam pendidikan, untuk mengurangi tekanan mental siswa sebagaimana yang terjadi pada ujian nasional, namun pada sisi lain mencoba mempertahankan standar pencapaian pembelajaran,” paparnya.
Lebih lanjut, kata Dayat dalam social cogntive theory, upaya melewati tantangan sangat ditentukan oleh self effikasi.
“Menurut saya kebijakan baru ini dapat menciptakan dinamika motivasi guru dan siswa, karena fokus sasarannya lebih pada siswa secarai individual,” jelas Dayat.
Menurutnya siswa yang memiliki self-effikasi tinggi cenderung akan mengikuti TKA meskipun ini bukan syarat kelulusan. Karena mereka melihat TKA bisa dijadikan pertimbangan masuk masuk jalur prestasi ke jenjangan yang lebih tinggi.
Dayat mengatakan, secara tidak langsung ada upaya dari pemangku kebijakan untuk mendorong sistem sekolah untuk lebih fokus dalam membangun habitus akademik yang baik dari pada memikirkan kelulusan. Sekolah tentunya akan lebih fokus dalam membangun karakter dan pemahaman siswa dengan pembelajaran yang lebih mendalam (deep learning) untuk menguatkan self-effikasi siswa.
“Kalaupun nilai siswa tidak sesuai dengan harapan, mereka tetap lulus sekolah namun mereka masih memiliki jalur lain untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi sesuai dengan preferensi mereka,” tambahnya lagi.
Terakhir Dayat menegaskan, tentu yang perlu menjadi catatan, tidak ada sistem sempurna. Pemerintah perlu melakukan komunikasi dengan baik mengenai kebijakan tersebut.
“Jangan sampai konsep bagus ini kemudian dalam implementasinya terjadi banyak kecurangan,” tutupnya. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Azrohal Hasan