
PWMU.CO – Serangan udara Israel menghantam Rumah Sakit Nasser di Gaza selatan pada Ahad malam (23/3/2025), menewaskan lima pasien, melukai banyak lainnya, dan menyebabkan kebakaran hebat.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, serangan tersebut mengenai departemen bedah rumah sakit di Khan Younis. Salah satu korban tewas disebut sebagai pemimpin politik Hamas, Ismail Barhoum, yang saat itu sedang menjalani perawatan medis.
Militer Israel mengklaim serangan itu menargetkan “tokoh utama” dalam kelompok Hamas. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengonfirmasi bahwa target mereka adalah Barhoum. Namun, militer Israel tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai klaim ini.
Serangan ini menjadi bagian dari kampanye militer baru Israel setelah periode gencatan senjata yang berlangsung hampir dua bulan.
Selain di Rumah Sakit Nasser, Israel juga melancarkan serangan udara di berbagai wilayah di Gaza. Ledakan terdengar di utara, tengah, dan selatan Gaza sejak Ahad pagi, mengakibatkan sedikitnya 45 warga Palestina tewas di Rafah dan Khan Younis.
Menurut otoritas kesehatan Palestina, jumlah korban tewas sejak konflik pecah pada Oktober 2023 telah melampaui 50.000 jiwa, mayoritasnya adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Hamas sebut Israel melanggar perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada Januari lalu. Meski demikian, Hamas menyatakan masih membuka peluang negosiasi untuk gencatan senjata baru, yang saat ini sedang dikaji oleh utusan khusus AS.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa tujuan operasi militer ini adalah menghancurkan Hamas dan memaksa kelompok tersebut menyerahkan para sandera.
Militer Israel juga mengumumkan Divisi ke-36 mereka yang sebelumnya bertugas di Lebanon kini disiapkan untuk operasi di Jalur Gaza.
Di tengah serangan yang terus berlanjut, militer Israel mengeluarkan peringatan evakuasi bagi warga Palestina di Tel Al-Sultan, Rafah barat. Pasukan Israel mengepung kawasan tersebut, mengklaim bahwa mereka menargetkan “situs infrastruktur teror” dan “melumpuhkan kelompok militan” di wilayah itu.
Akibatnya, ribuan warga sipil kembali melarikan diri, banyak di antaranya berjalan kaki atau menggunakan gerobak keledai untuk membawa anak-anak dan barang-barang mereka.
“Ini sudah kesepuluh kalinya kami mengungsi. Kapan kami bisa merasa aman di rumah sendiri?” ujar Abu Khaled, salah satu warga Rafah, kepada Reuters.
Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Menurut Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), lebih dari 50.000 warga masih terjebak di Rafah tanpa akses ke bantuan kemanusiaan.
Blokade Israel sejak awal Maret telah menghentikan masuknya pasokan makanan dan obat-obatan ke Gaza, meningkatkan risiko kelaparan dan krisis kesehatan di wilayah tersebut.
“Setiap hari tanpa makanan membawa Gaza lebih dekat ke bencana kelaparan. Melarang bantuan adalah bentuk hukuman kolektif,” tulis Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, di media sosial X.
Dengan situasi yang semakin genting, komunitas internasional terus menyerukan gencatan senjata dan penghentian kekerasan di Gaza.
Penulis Ahmad Sa’dan Husaini Editor Wildan Nanda Rahmatullah