Hadirin yang dimuliakan Allah SWT, aspek ekonomi sangat mempengaruhi kondisi mental seseorang. Kondisi ekonomi yang sulit – seperti pengangguran, kemiskinan, atau himpitan utang – dapat menjadi stressors berat yang memicu kecemasan dan depresi.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk bertawakal atas rezeki dari Allah dan selalu berikhtiar halal. Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung: pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi).
Tawakal dan kerja keras adalah kunci, namun Islam juga memahami kelemahan manusia: ketika kesulitan ekonomi datang, iman kita diuji agar tetap sabar dan tidak berputus asa.
Data menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental bukan hanya masalah individu, tapi juga berdampak luas pada ekonomi masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa gangguan mental menimbulkan beban ekonomi global sekitar 1 triliun Dolar AS per tahun. Angka ini berasal dari hilangnya produktivitas kerja akibat depresi, kecemasan, serta biaya perawatan bagi penderita.
Bayangkan, produktivitas miliaran hari kerja hilang karena pekerja tidak bisa optimal akibat masalah psikologis. Di Indonesia sendiri, Kementerian Koordinator PMK mengungkapkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan jiwa di negeri kita mencapai Rp20 triliun per tahun. Ini termasuk biaya pengobatan dan kehilangan produktivitas masyarakat. Sungguh dampak yang besar!
Selain dampak ekonomi makro, secara mikro kesulitan ekonomi rumah tangga menekan kesehatan mental keluarga. Survei pada masa pandemi COVID-19 lalu memberikan pelajaran berharga: tekanan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan atau berkurangnya penghasilan memicu konflik rumah tangga dan bahkan perceraian. Banyak orang tua yang stress karena sulit memenuhi kebutuhan, sementara anak-anak merasakan kecemasan melihat orang tuanya kesulitan. Semua ini menunjukkan bahwa kestabilan ekonomi dan kesehatan mental saling terkait erat.
Islam menawarkan solusi dengan konsep ta’awun (tolong-menolong) ekonomi: zakat, infak, dan sedekah menjadi instrumen pemerataan agar jurang si kaya dan si miskin tidak terlalu lebar yang bisa melahirkan tekanan psikologis sosial.
Zakat Fitrah yang baru saja kita tunaikan sebelum shalat Id adalah contoh nyata: agar saudara-saudara miskin bisa ikut bergembira di hari raya dan tidak larut dalam kesedihan karena himpitan kebutuhan. Spirit kepedulian ini menyehatkan jiwa – bagi penerima, bantuan tersebut meringankan beban pikirannya, dan bagi kita yang memberi, tumbuh rasa bermakna dan bahagia. Kajian psikologi modern-pun mengiyakan, bahwa berbagi dan berderma terbukti meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan stres karena kita merasakan purpose dalam hidup.
Maka, di hari Idul Fitri ini marilah kita teguhkan solidaritas ekonomi. Jika ada keluarga atau tetangga yang kesulitan, ulurkan bantuan. Minimal, berilah ucapan dan doa penguat agar mereka tidak merasa sendiri. Allah SWT berjanji;
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3).
Ayat tersebut mengajarkan kita optimisme bahwa jalan keluar selalu ada, sehingga jangan biarkan himpitan ekonomi membuat kita putus asa. Tetaplah berusaha, berdoa, dan andalkan pula dukungan sesama muslim.
Jamaah Idul Fitri yang dirahmati Allah, manusia adalah makhluk sosial. Kesehatan mental kita sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan lingkungan di sekitar kita. Keluarga yang harmonis, sahabat yang peduli, dan masyarakat yang suportif adalah benteng kokoh bagi kesehatan jiwa. Sebaliknya, kesepian, isolasi, konflik sosial, atau stigma akan memperburuk kondisi mental.
Pengalaman pandemi kemarin memberi pelajaran betapa berartinya interaksi sosial bagi mental. Ketika penerapan karantina dan physical distancing, banyak orang merasa terasing dan cemas. Pejabat Kemenkes RI menyatakan di masa pandemi menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, dan tekanan mental akibat isolasi, pembatasan fisik, dan ketidakpastian. Sebuah survei oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menunjukkan 68% responden mengalami masalah psikologis selama pandemi. Mayoritas, yaitu 67% lebih, merasakan gejala kecemasan dan depresi. Bahkan hampir setengah dari mereka yang depresi (48%) sempat berpikir ingin mati atau menyakiti diri – na’udzubillah!
Hal tersebut mengindikasikan betapa beratnya beban mental akibat kesendirian dan tekanan hidup selama krisis kemarin. Sebanyak 74% responden juga mengalami gejala trauma psikologis seperti waspada berlebihan, merasa sendirian dan terisolasi. Kita bersyukur, perlahan kehidupan sosial telah normal kembali, namun data tadi menjadi pengingat bahwa dukungan sosial sangat krusial.
Dalam ajaran Islam, ukhuwah (persaudaraan) dan silaturahim bukan sekadar akhlak mulia, tapi juga kebutuhan psikologis. Nabi SAW bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai dan mengasihi adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, yang lain turut merasakan sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis tersebut menekankan konsep empati kolektif – jika ada saudara yang menderita secara mental, lingkungan sekitarnya perlu peduli. Stigma terhadap penderita gangguan jiwa harus kita hilangkan. Jangan ada lagi anggapan bahwa depresi atau cemas hanyalah kurang iman.
Memang iman dan ibadah adalah terapi utama, namun ingatlah bahwa manusia juga butuh support system dari sesamanya. WHO mencatat bahwa remaja dengan gangguan mental sangat rentan mengalami penolakan sosial, diskriminasi, dan stigma, yang justru membuat mereka enggan mencari pertolongan dan memperburuk masalah.
Oleh karena itu, mari kita ciptakan iklim sosial yang terbuka dan menerima. Jika ada anggota keluarga atau teman yang menunjukkan gejala depresi, jangan dihakimi, tapi rangkul dan dengarkan mereka.
Idul Fitri adalah momen tepat memperbaiki hubungan sosial. Setelah salat Id, tradisi kita adalah saling berkunjung, bermaafan, dan berkumpul dengan keluarga besar. Ini bukan sekadar tradisi tanpa makna – justru inilah obat sosial bagi jiwa-jiwa yang lelah.
Silaturahmi menghilangkan rasa sepi, menguatkan rasa memiliki (sense of belonging), dan memberikan dukungan emosional. Seseorang yang tadinya hampir putus asa bisa bangkit lagi semangatnya ketika bertemu saudara dan mendengar kata-kata dukungan. Jadi, marilah kita hidupkan kembali semangat kebersamaan pasca Ramadhan ini. Jangan biarkan ada yang terisolasi. Tengok tetangga yang mungkin tinggal sendiri, kunjungi kawan yang baru kehilangan, eratkan kembali tali keluarga yang mungkin kemarin sempat renggang.
Rasulullah SAW mengingatkan, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahim” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut sekaligus pesan spiritual dan psikologis: memutus hubungan hanya akan membawa sengsara, sedangkan menyambung kasih sayang membawa berkah dan kesehatan jiwa.
Hadirin yang bijak dalam memanfaatkan waktu, tak dapat kita pungkiri bahwa di era sekarang media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan. Dari anak-anak hingga dewasa, banyak yang menghabiskan waktu berjam-jam di gawai untuk scrolling media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain. Media sosial bak pisau bermata dua: ada manfaatnya dalam menyebarkan silaturahim dan informasi, namun tak sedikit mudaratnya bagi kesehatan mental jika digunakan secara berlebihan atau tanpa bijak.
Statistik menunjukkan betapa intensnya penggunaan media sosial, khususnya di Indonesia. Rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam per hari di media sosial, bahkan termasuk peringkat tertinggi di dunia dan jauh di atas rata-rata global.
Bagi kalangan remaja, media sosial sudah seperti ruang berkumpul utama mereka. Namun, apa dampaknya terhadap jiwa? Penelitian-penelitian psikologi belakangan ini memberi peringatan keras. Sebuah studi yang dikutip Fakultas Psikologi UNAIR menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari 3 jam per hari memiliki risiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental. Waktu penggunaan yang berlebihan dikaitkan dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan pada remaja. Hal ini terutama disebabkan oleh fenomena perbandingan sosial dan cyberbullying di dunia maya.
Remaja yang tiap hari melihat postingan kehidupan orang lain yang tampak “sempurna” dapat merasa rendah diri dan kurang berharga, apalagi jika mereka menjadi korban ejekan atau perundungan daring. Penelitian Primack et al. (2017) misalnya, menunjukkan kaitan kuat antara intensitas penggunaan media sosial dengan meningkatnya depresi pada anak muda, sebagian besar akibat membandingkan diri dengan orang lain di internet. Bahkan 46% remaja dalam sebuah survei di Amerika mengaku media sosial membuat mereka merasa lebih buruk tentang citra tubuh mereka.
Media sosial juga kerap menjadi ajang hoaks dan kabar negatif yang dapat memicu kepanikan dan emosi negatif berantai. Berapa banyak dari kita yang merasa mood terganggu setelah membaca komentar pedas atau berita buruk di timeline? Kecanduan media sosial pun nyata adanya: setiap notifikasi dan like memberikan dopamin sesaat yang membuat kita ketagihan, tapi jangka panjang mengikis kemampuan kita menikmati hal-hal sederhana.
Ironisnya, media sosial yang dimaksudkan untuk “sosial” justru bisa membuat orang anti-sosial di dunia nyata dan merasa kesepian. Berjam-jam menatap layar bisa mengurangi waktu berinteraksi langsung dengan keluarga di rumah. Padahal, studi menunjukkan mereka yang mengurangi penggunaan media sosial cenderung lebih bahagia dan kurang depresi dibanding yang terus-menerus online.
Lantas, bagaimana Islam memandu kita dalam hal ini? Islam mengajarkan prinsip wasathiyyah (moderasi) dalam segala hal. Waktu adalah amanah Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Menghabiskan waktu yang berlebihan di media sosial tanpa manfaat jelas akan merugikan, apalagi jika sampai melalaikan ibadah dan kewajiban. Al-Qur’an mengingatkan:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran” (QS. Al-‘Asr [103]: 1-3).
Ayat tersebut menegur kita agar tidak menyia-nyiakan waktu. Gunakan media sosial seperlunya, misalnya untuk silaturahim dengan kerabat jauh, berdakwah menyebar konten positif, atau mencari pengetahuan. Hindari tenggelam dalam scroll tanpa tujuan.
Selain itu, hindarilah ghibah (menggunjing) dan debat kusir di media sosial yang hanya menambah dosa dan stress. Allah SWT berfirman,
“Wahai orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka… dan janganlah kalian saling menggunjing satu sama lain” (QS. Al-Hujurat [49]:12).
Ayat tersebut sangat relevan di era medsos: jangan mudah berprasangka buruk melihat postingan orang, dan jangan ikut-ikutan membully atau menyebar aib. Tahan jempol kita dari menulis komentar kasar. Ingat, yang kita hadapi di balik layar adalah manusia nyata yang punya perasaan.