
Oleh Liset Ayuni – Sekretaris Umum PW IPM Jawa Timur
PWMU.CO – “Nuun wal-qalami wa maa yasthuruun”, Demi pena dan apa yang mereka tuliskan (QS Al-Qalam ayat 1). Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi sebuah penyadar bahwa sejarah di tulis oleh mereka yang berani bersuara. Kini Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang penuh kontroversi sedang memantik polemik.
Dan kini kaum pelajar sebagai generasi pewaris negeri menghadapi pilihan besar dilematik, membiarkan sejarah berjalan tanpa intervensi mereka. Atau menjadi bagian dari arus perubahan yang menentukan masa depan demokrasi Indonesia.
Beberapa pekan ini, ruang kebebasan bersuara dan berpendapat kembali di uji. Aksi demonstrasi di depan Gedung Grahadi Surabaya dan Gedung DPRD Malang berujung ricuh. Aparat melakukan penangkapan massa demonstran, indikasi melakukan kekerasan seksual terhadap demonstran, hingga pemukulan terhadap jurnalis.
Dalam aras nasional, media TEMPO mengalami teror berupa pengiriman kepala babi dan bangkai tiku. Ini merupakan simbol gelap yang menjadi penanda keberanian dalam menyampaikan fakta masih di hantui ancaman.
Lepas dari problematika di atas, hal yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah soal “bagaimana pelajar dan generasi muda meresponsnya”. Apakah mereka cukup hanya diam sebagai pilihan aman, staukah perlu mengambil peran untuk menjaga nilai-nilai demokrasi?
Generasi Z dan Alpha, kita pewaris demokrasi yang di uji
Pelajar kini berada pada masa transisi antara Generasi Z dan Generasi Alpha, yakni generasi yang tumbuh dengan akses informasi tak terbatas. Tetapi juga menghadapi tantangan besar yang berupa propaganda digital, polarisasi opini, dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
Satu sisi, mereka sudah terbiasa dengan keterbukaan, mendukung kebebasan berpendapat, dan paham isu keadilan sosial. Namun, pada sisi lain mereka menghadapi lingkungan yang tidak selalu ramah terhadap suara kritis. Fenomena ini menjadi paradoks, mereka lahir dalam era demokrasi tetapi sekaligus menyaksikan kebebasan yang perlahan terkikis.
Ketika kekerasan terhadap demonstran dan jurnalis terjadi, itu bukan sekadar masalah individu. Itu adalah peringatan bahwa hak berbicara, berserikat, dan mendapatkan informasi yang benar sedang berada di titik rawan. Jika generasi muda hari ini memilih diam, maka ketika mereka tumbuh menjadi mahasiswa, pekerja, atau pemimpin di masa depan, mereka mungkin akan menemukan bahwa ruang demokrasi telah menyempit dan suara mereka tak lagi di dengar.
Pakai nalar, jangan emosi
Menjaga demokrasi memang bukan sekadar turun ke jalan atau bereaksi dengan kemarahan. Perlawanan yang cerdas harus berbasis pada nalar, data, dan strategi yang matang. Jika ruang fisik dibatasi, maka ruang digital harus menjadi medan perjuangan yang lebih kuat.
Karena itu, kini apa yang bisa dan perlu Pelajar Muhammadiyah dan generasi muda lakukan?
1. Menghidupkan diskusi publik di sekolah dan komunitas
Pelajar bisa menginisiasi forum diskusi yang membahas beragam persoalan, termasuk RUU TNI dari berbagai perspektif dengan melibatkan akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil untuk memahami isu ini secara lebih komprehensif.
2. Menulis dan menyuarakan opini melalui media
Kritik dan analisis berbasis data harus di perbanyak, baik melalui media massa, blog, atau media sosial. Jika ada narasi yang menyesatkan, pelajar harus hadir dengan kontra-narasi berbasis ilmu.
3. Bersolidaritas dengan jurnalis dan aktivis HAM
Ketika media dan jurnalis ditekan, pelajar harus menunjukkan keberpihakan pada kebenaran dengan mendukung kebebasan pers. Ini bisa dilakukan dengan menyebarluaskan berita yang kredibel, menghindari hoaks, serta mendukung jurnalis yang mengalami kriminalisasi.
4. Menggunakan media sosial sebagai alat edukasi, bukan sekadar ekspresi
Alih-alih sekadar marah atau bersuara tanpa arah, generasi muda bisa memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan edukasi terkait demokrasi dan hak-hak sipil.
5. Mengawal kebijakan, bukan hanya mengkritik
Kritik yang baik harus diikuti dengan pengawalan terhadap kebijakan. Pelajar bisa mengajak organisasi kepemudaan, komunitas mahasiswa, hingga elemen masyarakat sipil lainnya untuk memberikan rekomendasi yang lebih konstruktif terhadap RUU yang di anggap bermasalah.
Memastikan demokrasi tidak mati di tangan ita
Generasi muda bukan sekadar pewaris negeri, tetapi juga penjaga demokrasi. Apa yang terjadi hari ini akan menentukan bagaimana mereka hidup sebagai bangsa pada masa yang akan datang.
Jika mereka membiarkan ketidakadilan berjalan tanpa perlawanan, maka di masa depan mereka akan mendapati bahwa tidak ada lagi ruang untuk suara kritis. Namun, jika hari ini mereka memilih untuk berpikir, bersuara, dan bertindak dengan strategi yang cerdas, maka mereka bukan hanya membela demokrasi. Artinya, mereka sedang merancang masa depan yang lebih adil.
“Demokrasi bukanlah hadiah yang bisa diterima begitu saja. Demokrasi harus diperjuangkan pada setiap generasi.” Kini, mampukah pelajar mengambil peran untuk menentukan, “apakah akan menjadi generasi penjaga kebebasan atau sekadar saksi bisu saat demokrasi perlahan tergerus oleh kuasa yang tak terkendali?” (*)
Editor Notonegoro