
Oleh Bayu Tegar Kensuma – Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
PWMU.CO – Di Indonesia ada beberapa tradisi untuk menyebarkan agama Islam, utamanya melalui kesenian. Misalnya melalui kesenian wayang, kesenian bunyi-bunyi dari gamelan yang ditabuh, atau melalui sholawat yang dilantunkan.
Pada artikel ini penulis spesifik membahas permasalahan budaya sholawat yang muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat terhadap tradisi bersholawat. Sholawat pada agama Islam merupakan pujian kepada Nabi agung Muhammad Shallallahu ala Muhammad. Dalam masyarakat Islam tradisional di Indonesia ada beberapa sholawat yang populer, seperti: sholawat nariyah, sholawat thibbil qulub, sholawat asyghil, sholawat burdah, dan lain sebagainya.
Dalam praktiknya, tradisi sholawat dilakukan dengan mengadakan “majlis sholawat” yang diikuti puluhan, ratusan, bahkan hingga ribuan orang. Mereka secara bersama-sama melantunkan puji-pujian kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ala Muhammad (sholawat) yang di pimpin oleh pemuka agama.
Majlis menyimpang
Dan karena sholawat yang pada dasarnya berbahasa Arab, — agar menarik orang-orang untuk lebih senang bersholawat dan lebih menghayati sholawat yang di lantunkan — maka sebagian majlis sholawat menyisipkan syiiran kedalam bahasa Jawa. Misalnya turi putih, alamat’e anak sholeh, tombo ati, lir-ilir, dan masih banyak lagi. Karena tradisi menyisipkan syiir Jawa ini, masyarakat Jawa rata-rata menjadi tertarik. Makin lama majlis sholawat pun semakin menjamur, dan pengunjungnya pun bahkan mencapai puluhan ribu.
Persoalannya, kini banyak majlis sholawat — utamanya di pulau Jawa — yang berdiri tanpa kendali. Masyarakat awam pun kesulitan untuk membedakan mana majlis sholawat yang layak mereka hadiri dan mana yang tidak. Selama mereka mendengar ada majlis sholawat, mereka berduyun-duyun hadir.
Jika kita mencermati, saat ini banyak majlis sholawat yang menyimpang dari ketentuan atau norma. Misalnya, sholawat sambil joget-joget, sholawat yang peserta laki-laki dan perempuan bercampur tanpa batas. Lebih ironis lagi, esensi dari sholawat yang tujuannya untuk memuliakan Rasulillah Muhammad Saw lebih banyak hilang.
Kini justru marak menjadikan majlis sholawat untuk memuji manusia yang sangat tidak sebanding dengan Rasulullah Saw. Misalnya yang terjadi pada Majlis Syubbanul Muslimin, ketika membawakan sholawat “assubhubada”mereka menyisipkan lirik “syubbanul muslimin ada gus azmi tampan ada hafidz ahkam yang bikin cewek melayang“ (https://vt.tiktok.com/ZSMK1m2Hb/). Juga ada majlis pengajian dan sholawat yang melontarkan kata-kata yang tidak pantas, seperti “ikan sepat ikan teri lo berempat gua sendiri, kalua cinta tak di restui dedek bayi jadi solusi” (https://vt.tiktok.com/ZSMKJNKwc/). Ada pula “Majlis Mafia Sholawat”yang tidak memberikan batas atau sekat antara tempat laki-laki dan wanita yang bukan muhrim. Mereka bercampur-aduk menjadi satu (https://vt.tiktok.com/ZSrY5uXFH/).
Semua itu sudah di anggap sebagai hal yang lumrah bagi masyarakat awam. Masyarakat seolah hanya terhipnotis saat melihat informasi melalui media banner yang bertuliskan “Hadirilah Majlis Sholawat” tanpa menimbang nilai dari majlis itu.
Pendek kata, acara sholawat gaya baru ini telah menjadi tradisi yang berkembang pada masyarakat yang fanatik dengan ‘gus-gusan’ dan ‘habib-habiban’. Maka hadirnya peran MUI (Majlis Ulama Indonesia) cukup penting untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat awam agar bisa memilah dan memilih, mana majlis yang layak dan tidak layak untuk dihadiri dan diikuti. Sekaligus perlu adanya pembinaan terhadap majlis sholawat yang menyimpang dari norma agama. Bukankah sholawat adalah bentuk penghormatan kita kepada Nabi Muhammad Saw yang kita harapkan syafaatnya di hari akhir nanti?
Tampaknya, keresahan atas penyimpangan majlis sholawat ini tidak hanya pada penulis seorang. Bahkan ada sejumlah ulama dan pemimpin majelis sholawat yang merasakan hal yang sama. Pimpinan Majlis Ahbabul Musthofa melalui link tiktok menegur para syekher-mania karena sholawat sambil joget (https://vt.tiktok.com/ZSrYa2G7V/). Ada Habib Ali Zainal Abidin, Pimpinan Majlis Az-Zahir Pekalongan yang memberikan tanggapan terhadap fenomena tersebut (https://vt.tiktok.com/ZSrYacgpe/). Dalam saluran tersebut, Habib Ali menyatakan bahwa majlis sholawat merupakan tempat untuk bersilahturahmi antara umat dan Nabinya. Maka kalau bersholawat itu menggunakan adab yang lebih baik. Jangan hadir di majlis sholawat sambil joget-joget.
Kiai kondang Anwar Zahid memberikan komentar terhadap pendapat ulama tentang syiir sholawat yang di buat candaan/gurauan (https://vt.tiktok.com/ZSrYmdeRH/). Anwar Zahid berpendapat bahwa jika syair sholawat yang di buat mainan tidak segera dihentikan atau diingatkan, maka bisa merusak shigot/lafadz sholawat itu.
Dari sejumlah pendapat ulama-ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa sholawat kepada Nabi Muhammad Saw harus mengutamakan adab dan bukan justru membuatnya menjadi candaan. Coba kita bayangkan, andai Nabi Muhammad Saw menyaksikan majlis-majlis sholawat yang tidak beradab seperti itu. Apakah Nabi Muhammad Saw bisa tersenyum melihat perilaku yang tidak beradab itu?
Editor Notonegoro