
Oleh Muhammad Jamaluddin, MAg
PWMU.CO – Meski momentum Idul Fitri sudah berlalu, namun suasana dan nuansanya masih terasa hingga hari ini. Kunjungan sanak saudara dari perantauan masih terjadi. Idul Fitri menjadi momentum kebahagiaan tersendiri, utamanya yang dalam keseharian tidak selalu memungkinkan untuk bisa selalu bercengkerama dengan keluarga dan handai taulan. Bagi seorang Muslim, Idul Fitri merupakan momen kemenangan setelah sebulan berpuasa menahan diri dari godaan hawa nafsu, termasuk godaan lisan untuk mengeluarkan perkataan yang sia-sia.
Salah satu tradisi yang melekat di masyarakat Indonesia adalah setelah sholat Idul Fitri, berlanjut ke kegiatan silaturahmi dengan mengunjungi sanak keluarga, saudara, dan juga tetangga untuk saling memaafkan dan mempererat hubungan.
Namun, tanpa disadari terkadang tradisi yang baik mulia ini ternoda oleh hal-hal yang tidak sengaja jika mulut kita tidak kita jaga dengan baik dan hati-hati.
Silaturahmi bukan ajang gunjing dan pamer
Dalam Qur’an Surat Al-Hujurat, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat 12)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa menggunjing (ghibah) adalah dosa besar yang berpotensi merusak silaturahmi. Sayangnya, saat kita berkumpul, justru tak jarang obrolan yang kita lakukan berubah menjadi ajang membicarakan kejelekan orang lain, membandingkan pencapaian, atau bahkan pamer kekayaan dan kesuksesan. Padahal ini justru bertentangan dengan esensi Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali fitrah dengan hati dan lisan yang bersih.
Bahaya lisan yang tak terkendali
Ucapan yang tidak dijaga dapat menimbulkan dampak buruk, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dapat merusak hubungan sosial, menimbulkan kesalahpahaman, bahkan memicu konflik yang lebih besar. Dalam lingkungan sosial atau pergaulan. Berbicara tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain bisa melukai hati dan meninggalkan trauma yang mendalam.
Menjaga lisan merupakan bagian dari iman, karena setiap kata yang diucapkan mencerminkan kebijaksanaan dan akhlak seseorang.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
lisan bisa menjadi sumber pahala jika digunakan untuk berkata baik, seperti memberikan nasihat, menyebarkan kebaikan, berdzikir, atau berkata jujur. Namun, bisa juga menjadi sumber dosa jika digunakan untuk berbohong, menggunjing, memfitnah, atau menyakiti orang lain dengan kata-kata. Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga lisan agar lebih banyak menghasilkan pahala daripada dosa.
Saat bersilaturahmi, sebaiknya kita mengisi percakapan dengan hal-hal yang positif dan membangun, seperti:
- Ucapan maaf dan doa, agar dapat memperbaiki hubungan yang mungkin sempat retak.
- Kata-kata motivasi dan kebaikan, untuk menyemangati satu sama lain, bukan merendahkan.
- Obrolan yang bermanfaat, seperti berbagi ilmu atau kisah inspiratif, bukan sekadar gosip.
Selain itu, juga sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang bersifat pamer (riya’) saat Silaturahmi. Selain ghibah, penyakit lain yang sering muncul saat lebaran adalah pamer. Entah itu pamer harta, jabatan, atau pencapaian duniawi lainnya. Dalam Al-Qur’an Allah Swt mencela sifat riya’. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264)
Silaturahmi sejatinya adalah tentang ketulusan, bukan ajang unjuk kekayaan atau status sosial. Jika kita membanggakan diri, bisa jadi niat silaturahmi bergeser dari mencari ridha Allah menjadi mencari pujian manusia.
Tips menjaga lisan saat silaturahmi
Lisan harus dikendalikan saat silaturahmi. Perkataan yang tidak terjaga dapat menyakiti, menyinggung, atau menimbulkan konflik yang tidak diinginkan. Sebaliknya, ucapan yang bijak dan penuh pertimbangan dapat membangun hubungan yang harmonis, memberikan motivasi, serta mencerminkan kepribadian yang baik.
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menjaga lisan saat silaturahmi. Satu, lebih banyaklah mendengar, dan sedikitkan bicara. Dan jangan memotong pembicaraan atau mendominasi obrolan. Dua, fokuslah pada membicarakan hal-hal yang positif dan baik. Khususnya ketika membicarakan seseorang. Bukan justru membicarakan aibnya. Tiga, hindari pertanyaan yang memancing pamer Misal, “Kerja di mana sekarang? Gajinya berapa? Sudah Punya calon? Sudah punya anak? dll.” Ganti dengan: “Semoga Allah mudahkan rezekimu.” Dan, keempat, ingat bahwa amalan terbaik adalah yang Ikhlas. Tidak perlu membicarakan sedekah atau ibadah kita. (*)
Editor Notonegoro