
Oleh Nashrul Mu’minin – Content Writer Yogyakarta dan Kader Muhammadiyah
PWMU.CO – Pasca merayakan Idul Fitri di kampung halaman, jutaan manusia kembali berbondong-bondong balik menuju kota. Terminal dan stasiun padat dengan para perantau yang membawa oleh-oleh. Bukan sekedar makanan, tapi juga cerita-cerita baru dari tanah kelahirannya. Tak terkecuali para mahasiswa yang telah kembali usai menghabiskan masa liburan panjangnya, kini sudah kembali meramaikan kehidupan kampusnya. Satu hal yang tidak bisa disepelekan, mudik bukan sekedar perpindahan fisik, tapi juga pertukaran nilai budaya antara desa dan kota.
Teknologi turut mengubah dinamika ini. Kini, tak sedikit pekerja yang memanfaatkan remote working untuk memperpanjang masa mudik. Data Kemenhub 2024 mencatat, 12% pekerja di sektor kreatif memilih bekerja dari kampung halaman selama 2 minggu pasca-Lebaran. Sementara itu, kampus-kampus mulai menerapkan sistem perkuliathan hybrid, memungkinkan mahasiswa dari pelosok tetap bisa mengakses materi tanpa harus langsung kembali ke kota.
Namun, fenomena remote working dan pertemuan hybrid memunculkan masalah baru. Harga tiket transportasi melonjak hingga 200% saat arus balik. Pedagang kaki lima di kota mengeluh sepinya pembeli karena banyak yang belum kembali. Sebuah warung kopi di Jakarta bahkan hanya melayani 15 pelanggan per hari, padahal biasanya mencapai 50 pembeli.
Menyitir Qur’an Surat Al-Baqarah 185:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Ayat ini mengingatkan kita bahwa esensi Lebaran bukan sekadar ritual tahunan, tapi momentum untuk memperkuat ikatan sosial. Tradisi pulang kampung seharusnya menjadi media saling mengingatkan dalam kebaikan, bukan sekadar euforia sesaat.
Dalam hadis riwayat Bukhari
تَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.”
Nasihat Nabi ini relevan dengan fenomena arus balik dari desa ke kota. Bekal terbaik yang seharusnya dibawa perantau bukan hanya oleh-oleh materi, tapi juga nilai-nilai kebaikan dari kampung halaman.
Dampak sosialnya kompleks. Di satu sisi, terjadi homogenisasi budaya akibat pertukaran informasi yang masif antara desa dan kota. Anak-anak muda di kampung kini lebih melek tren, sementara warga kota mulai mengapresiasi kesederhanaan kehidupan desa. Namun di sisi lain, gelombang balik ini juga memicu kepadatan perkotaan yang semakin tak terbendung.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan, “Akankah tradisi mudik bertahan di era digital? Ataukah suatu saat nanti, silaturahmi virtual akan sepenuhnya menggantikan pertemuan fisik?” Yang pasti, selama nilai-nilai kemanusiaan masih dijunjung, ritual tahunan ini akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.
Efek ekonomi, antara geliat dan stagnansi
Pasca-Lebaran, pasar-pasar tradisional di kota-kota besar mengalami fluktuasi menarik. Data BPS 2024 mencatat, permintaan bahan pokok seperti beras dan telur turun 30% di minggu pertama arus balik, sementara permintaan produk elektronik dan perlengkapan kerja justru melonjak 45%. Fenomena ini menunjukkan perubahan pola konsumsi masyarakat urban yang baru kembali dari kampung. Warung-warung kopi di kawasan perkantoran mulai ramai lagi, tapi dengan wajah-wajah baru — para pekerja yang membawa cerita inspirasi dari kampung halaman mereka.
Generasi Z mengubah tren arus balik dengan gaya baru. Survei Kemenparekraf 2024 menunjukkan 25% mahasiswa sengaja memundurkan kepulangan untuk menghindari puncak arus balik. Mereka memanfaatkan masa sepi ini untuk eksplorasi wisata lokal di daerah asal. Tak sedikit yang membawa oleh-oleh khas daerah langsung dari sumbernya. Memicu tren baru oleh-oleh autentik yang di jual melalui platform daring kala kembali ke kampus.
Transformasi ruang perkotaan
Kota-kota pendidikan seperti Yogyakarta dan Bandung mengalami metamorfosis menarik. Kawasan kos-kosan yang cenderung sepi selama musim libur, kini hidup kembali dengan energi berbeda. Mahasiswa membawa praktik perilaku baik dari daerah asal seperti budaya gotong royong hingga kuliner lokal. Beberapa kafe di Jogja menawarkan menu spesial khas lebaran seperti ketupat sayur sebagai respon atas permintaan mahasiswa yang rindu cita rasa kampung.
Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mencatat peningkatan 65% penggunaan platform videocall selama seminggu pasca-Lebaran. Tren silaturahmi digital ini tak hanya terjadi antarindividu, tetapi juga di tingkat komunitas. Hampir semua organisasi kemahasiswaan yang mengadakan halal bihalal hybrid, menggabungkan anggota yang sudah kembali ke kampus dengan yang masih di kampung. Pola ini memunculkan bentuk baru interaksi sosial yang lebih fleksibel namun tetap menjaga esensi kebersamaan.
Fenomena pergerakan perubahan ini selaras dengan Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 11:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
Ayat ini mengisyaratkan bahwa transformasi sosial pasca-Lebaran adalah cermin dari perubahan pola pikir masyarakat itu sendiri.
Hadis Riwayat Muslim
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Pendek kata, nilai inilah yang seharusnya tetap dibawa pulang dari kampung halaman, yaitu semangat untuk memberi manfaat di mana pun kita berada. (*)
Editor Notonegoro