
PWMU.CO – Mudik lebaran telah menjadi ritual sosial sebagai bentuk migrasi massal, utamanya bagi warga Muslim yang ada di Indonesa. Ritus ini menjadi ritus yang hampir tak tertandingi massifnya di belahan bumi yang lain. Jutaan orang serentak meninggalkan kota untuk pulang menuju kampung halaman. Kemacetan pun menjadi pemandangan yang biasa. Stasiun, bandara, dan Pelabuhan tampak penuh sesak oleh manusia.
Menurut Kementerian Perhubungan, mudik lebaran tahun 2025 ini mencapai lebih dari 146 juta orang. Meskipun jumlahnya turun dibandingkan dengan tahun 2024, jumlah tersebut merupakan mobilisasi tahunan yang sangat besar dan tetap harus mendapatkan perhatian serius.
Mengutip data yang dirilis oleh CELIOS (Center of Economic and Law Studies), tambahan perputaran ekonomi yang dihasilkan selama Ramadan dan lebaran di tahun ini mencapai Rp140,74 triliun.
Namun, di balik euforia ekonomi itu sesungguhnya tersimpan konsekuensi besar. Mulai dari lonjakan harga tiket transportasi, kemacetan parah, tekanan pada infrastruktur, hingga konsumsi berlebih yang kerap hanya berlangsung sesaat. Negara dan masyarakat sama-sama harus menanggung beban ekonomi dan sosial yang luar biasa dan berulang setiap tahunnya.
Pertanyaannya, mengapa seluruh beban ini seolah hanya terkonsentrasi pada satu momen lebaran Idul Fitri? Padahal, umat Islam memiliki dua hari raya besar yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Dominasi Idul Fitri sebagai pusat perayaan keagamaan ternyata bukan fenomena universal. Di banyak negara mayoritas Muslim, seperti di Jazirah Arab, Afrika Utara, Turki hingga sebagian Asia Selatan, justru menjadikan Idul Adha sebagai hari raya yang di sambut dengan sangat meriah.
Sebaliknya, dominasi Idul Fitri justru lebih sebagai momen utama mudik dan konsumsi. Hal ini telah menjadi karakteristik khas kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia.
Hanya produk budaya
Fakta ini memperlihatkan bahwa keutamaan satu hari raya atas yang lain bukanlah doktrin baku, melainkan produk budaya dan kebiasaan kolektif.
Dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, Idul Fitri telah menjadi episentrum perayaan keagamaan dan sosial, lengkap dengan ritual mudiknya, pembagian tunjangan hari raya (THR)nya, hingga konsumsi makanan secara besar-besaran.
Tidak heran jika sebagian besar kebijakan publik, mulai dari pengaturan hari libur nasional, alokasi cuti bersama, hingga logistik transportasi nasional, berpusat pada momen ini. Sebaliknya, momentum Idul Adha kurang mendapatkan pelayanan dari pemerintah secara optimal.
Padahal secara teologis maupun sosial, Idul Adha memuat nilai-nilai yang tidak kalah besar. Idul Adha menekankan pada nilai tentang pengorbanan, keikhlasan, distribusi kekayaan, dan kepedulian terhadap sesama. Nilai-nilai ini justru sangat relevan untuk penguatan solidaritas sosial dan pembangunan karakter nasional. Karena itu, reformasi kebijakan menjadi penting untuk dipertimbangkan demi pemerataan beban sosial dan efisiensi ekonomi jangka panjang.
Realitanya, Idul Fitri secara rutin selalu mendapatkan cuti bersama dan hari libur panjang, sementara Idul Adha biasanya hanya satu hari. Sebagai pembanding, di Pakistan pemerintah menetapkan tiga hari libur nasional baik dalam rangka Idul Adha maupun Idul Fitri.
Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi kebijakan yang sama dengan menambahkan hari libur pada Hari Tasyrik (11–13 Zulhijjah) dan mengurangi cuti bersama pada saat Idul Fitri, sehingga tercipta keseimbangan di antara dua hari raya tanpa mengurangi produktivitas pekerja.
Pemerintah juga perlu melakukan alokasi ulang terhadap pemberian THR pada saat Idul Adha. Penyaluran sebagian dana THR tersebut bertujuan untuk membantu umat Islam membeli hewan kurban menjelang Idul Adha.
THR tidak harus berupa tambahan yang pada akhirnya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan para pengusaha. Tetapi cukup alokasi dan waktunya saja yang perlu di atur ulang.
Di sektor transportasi, dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat memilih momen mudik di hari Idul Adha, demand ekstrem akan transportasi pada saat Idul Fitri dapat dikurangi.
Hal ini memungkinkan operator transportasi dapat merancang layanan dengan lebih fleksibel, menurunkan risiko harga tiket yang melambung tinggi, serta mengoptimalkan infrastruktur yang tersedia.
Sektor pariwisata yang mengalami kepadatan ekstrem saat Idul Fitri pun akan menjadi lebih stabil. Perubahan komposisi hari libur di dua hari raya ini juga memungkinkan distribusi kunjungan wisata yang lebih merata sehingga sektor pariwisata tetap menggeliat di sepanjang tahun.
Kebijakan untuk menyeimbangkan hari libur, mendistribusi ulang THR, dan menciptakan musim mudik alternatif bukanlah upaya mengganti budaya, melainkan membangun fleksibilitas baru dalam sistem sosial-ekonomi kita.
Lebih dari itu, penguatan posisi Idul Adha akan memperkaya narasi keagamaan nasional kita. Kemenangan tidak semata dirayakan dalam gegap gempita Idul Fitri, tetapi juga dalam kesadaran sosial dan spiritual Idul Adha.(*)
Editor Notonegoro