PWMU.CO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau ulang putusan tentang penghayat kepercayaan yang disamakan dengan agama di kolom KTP. Secara teknis itu akan menyulitkan karena jumlah aliran kepercayaan sangat banyak.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat KH Dr Cholil Nafis Lc MA usai mengisi Forum Dialog dan Literasi Media di Kota Malang, Rabu (15/11/2017).
”Kami akan minta tinjau ulang putusan MK tersebut, meski secara hukum sudah jadi putusan final,” ujar Cholil Nafis. Tapi dia tidak menyebutkan bagaimana cara MUI meminta MK meninjau ulang keputusannya itu.
Baca juga : Kritik Haedar Nashir, Kekuasaan MK Melebihi Tuhan
Cholil Nafis memberikan beberapa alasan mengapa harus ditinjau ulang putusan MK tersebut. ”Putusan MK perlu ditinjau ulang dengan alasan, pertama, aliran kepercayaan di Indonesia sangat banyak, maka akan kesulitan untuk identifikasinya,” terangnya.
Kedua, sambung dia, aliran kepercayaan bisa dibuat oleh siapa saja, tapi agama tidak bisa. Ketiga, berkaitan dengan hari libur, jika seluruh aliran kepercayaan dimasukkan kolom KTP dan minta hari libur di setiap perayaannya, maka ini sangat tidak produktif.
Meski demikian, Cholil menyampaikan tetap diberikan ruang untuk aliran kepercayaan dengan cara bersikap adil dan proporsional. ”Tetap dengan mengakomodir aliran kepercayaan dengan prinsip adil dan proporsional, tidak harus dengan memasukkan kolom di KTP atau KK,” jelasnya.
“Pemeluk agama kan besar, aliran kepercayaan kecil, masak kelompok yang besar disamakan dengan kelompok kecil,” katanya.
Seperti diberitakan MK mengabulkan uji materi pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016 sebagai penganut aliran kepercayaan.
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata ”agama” dalam pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Dengan demikian aliran kepercayaan juga berhak disebut dalam kolom agama di KTP dan KK. Selama ini kolom itu dikosongi bagi pengikut aliran kepercayaan. (izzudin)