
PWMU.CO – Perjalanan dari Terminal Bungurasih, Waru, Siadoarjo menuju Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, di Jalan Genteng Kali Surabaya, Kamis (16/11/17), terasa spesial.
Hal itu karena tukang ojek yang saya tumpangi asyik diajak ngobrol. Syafaril Anrosi, begitu dia memperkenalkan diri, banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya. Bahkan, bak politisi, ia juga fasih soroti kondisi negera yang belakangan ini memprihatinkan.
Perbincangan semakin menarik ketika dia menyinggung soal Muhammadiyah. Ternyata secara jujur dia mengutarakan kegagumannya pada Muhammadiyah. Padahal, seperti pengakuannya, Ari—panggilan akrabnya— adalah lulusan tahun 2005 SMA YPM (Yayasan Pendidikan Maarif) Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Tentu itu sekolah milik (warga) Nahdliyin, bukan Muhammadiyah.
Menurut Ari, yang drop out kuliah di Ubhara Surabaya ini, “Muhammadiyah pendidikannya bagus-bagus dan berkualitas.” Pria yang tinggal di Medaeng, Sidoarjo ini mengakui bahwa orang-orang Muhammadiyah itu teguh pendirian dan kompak. “Siapa bilang orang Muhammadiyah galak dan kolot, buktinya mereka suka dan sering membantu kepada sesama. Saya sering bertemu dengan mereka, santun,” katanya serius.
Di bagian lain Ari juga mengagumi kesederhanaan dan keseharjaan para pimpinan Muhammadiyah. “Tidak gila hormat dan pujian,” kesan dia.
Namun demikian, Ari punya harapan besar agar Muhammadiyah dan NU bersatu untuk menolong bangsa yang sedang dikuasai asing. “Lupakan perbedaan ibadah,” pesannya.
Tidak terasa, kami sudah sampai di kantor. Tampaknya perbincangan yang mengasyikan sehingga waktu begitu cepat berlalu.
Terima kasih Mas Ari atas kejujuran tentang Muhammadiyah. Ini kado spesial pada Milad Muhammadiyah ke-105 Masehi, yang jatuh 18 Novemver 2017. Semoga bisa bertemu kembali. (Mohamad Su’ud)
