PWMU.CO – Senin malam (13/11), ketika transit di hotel Nouvelle Serikembangan Malaysia, saya kedatangan tiga tamu istimewa. Namanya Ali Fauzi, Muhlisun dan Warkum. Mereka mengenalkan diri berasal dari Lamongan, tepatnya desa Sumuran, kecamatan Paciran. Ketiganya mengaku telah lebih dari 20 tahun mengais rizki di Malaysia.
Sejujurnya saya belum mengenal mereka. Tapi karena tersentuh aspek primordialisme kedaerahan maka suasana langsung akrab seperti sudah mengenal lama. Nasionalisme memang gampang bersemi ketika sama-sama berada di tempat yang jauh dari rumah.
Saya sebut mereka tamu istimewa, karena meski sudah lama tinggal di negeri jiran sebagai tenaga kerja, tetap saja tidak melupakan dakwah Muhammadiyah. Bahkan mereka berencana mendirikan Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah (PRIM) di kawasan tempat tinggalnya, yaitu di Ampang Campuran, Selangor Darul Ehsan. Selama ini sudah ada lima ranting istimewa, yaitu di Kampung Baru, Klang Lama, Keponh, Gombak, dan, Sungai Way.Agar lebih mantap, kami bermaksud konsultasi dulu mengenai berbagai hal tentang Muhammadiyah dan perbedaannya dengan ormas Islam lainnya,” kata Fauzi menjelaskan tujuan mereka bertemu saya.
Sebelum saya jelaskan, sejenak mereka mengisahkan sepenggal perjalanan hidupnya di masa sulit, yang mengakibatkan sekolahnya amburadul. Warkum misalnya, tiga kali harus pindah sekolah karena kesulitan biaya. “Semula saya sekolah di Muhammadiyah. Karena biaya, lalu pindah ke NU. Kemudian pindah lagi ke Muhammadiyah.”
Sekitar tiga dasawarsa silam, Sumuran memang dikenal sebagai desa miskin dan masyarakatnya kurang peduli pendidikan. Sehingga tidak heran jika kebanyakan warganya lebih memilih kerja sebagai buruh tani atau menjadi TKI di Malaysia, seperti mereka bertiga.
“Alhamdulillah kehidupan ekonomi kami sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya,” tutur Fauzi yang diamini Muhlisun.
Bahkan, Warkum bercerita kalau dirinya sekarang memiliki usaha rumah sakit di kawasan elit Surabaya, dan bisnis lain di Pulau Dewata. “Sehingga rata-rata sebulan sekali saya pulang ke desa,” tuturnya.
Hebatnya, keberhasilannya di bidang ekonomi tidak menjadikan mereka sombong dan lupa diri. Dalam kesibukannya, mereka tetap terpanggil untuk turut berkontribusi dalam perjuangan mengembangkan Persyarikatan di negeri jiran. Juga tidak lupa membantu membesarkan Persyarikatan di desa asalnya, Sumuran.
Kegigihan dan komitmen tiga pemuda desa ini patut dicontoh oleh kader-kader lainnya. Di mana pun berada, dan dalam kondisi apa pun tetap tidak lupa memikirkan dakwah Muhammadiyah.
Rupanya, pola pendidikan karakter yang pernah digemblengkan saat duduk di bangku Madrasah Muhammadiyah dulu tetap terpatri kuat dalam diri mereka. (Nadjib Hamid)