Kolom Oleh Daniel Mohammad Rosyid
PWMU.CO – Selama paling tidak 40 tahun terakhir ini, dunia, termasuk Indonesia, memang semakin bersekolah, tapi masyarakat dunia boleh dikatakan makin tidak terdidik. The world is much more schooled but less educated.
Pemerintah, lalu masyarakat, gagal membedakan antara pendidikan dan persekolahan. Makin lama bersekolah dianggap makin terdidik. Wajib belajar diartikan wajib sekolah. Tidak ada kekeliruan yang lebih besar dari ini.
Padahal pendidikan lebih merupakan urusan belajar—paling tidak— berguru, bukan bersekolah. Sekolah diciptakan sekitar 200 tahun lalu sebagai instrumen teknokratik untuk mendukung revolusi industri di Inggris.
Sejak itu, persekolahan dibuka di banyak negara untuk mendukung sebuah masyarakat industrial. Sejak awal persekolahan tidak dirancang untuk mencerdaskan masyarakat dan memerdekakan jiwa.
Narasi kemerdekaan jiwa yang ditekankan oleh Ki Hadjar Dewantara tidak lagi ada dalam naskah-naskah kebijakan pendidikan saat ini. Penyeragaman yang luas melalui standar praktis membunuh keberagaman berpikir, minat dan bakat di sekolah. Mungkin warga muda belajar banyak hal di sekolah, kecuali menjadi dirinya sendiri yang cerdas dan merdeka.
Sebelum zaman persekolahan itu, masyarakat belajar melalui cara-cara informal dan nonformal, melalui konsep berguru. Di Indonesia masyarakat belajar di pondok pesantren melalui setting yang nonformal.
Masyarakat AS sebelum kemerdekaannya, menggantungkan pendidikannya pada membaca buku. Saat ini, masyarakat AS justru kalah literasinya dibanding zaman Benjamin Franklin. Banyak orang menyangka bahwa begitu bersekolah langsung belajar. Padahal banyak sekolah hanya tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar.
Belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan. Contoh yang paling mutakhir adalah puasa selama Ramadhan. Bulan ini disebut syahru madrasah, bulan belajar. Ini adalah sebuah proses belajar bersama secara sukarela tanpa membebani APBN dan APBD. Melalui proses puasa sebulan penuh ini, jika dikerjakan sungguh-sungguh, pelakunya akan menguasai kompetensi muttakin.
Syarat persekolahan untuk menjadi terdidik itu jelas diskriminatif dan eksklusif serta mempersempit kesempatan belajar bagi semua. Apalagi di zaman internet ini. Ki Hadjar Dewantara mengamanatkan tri sentra pendidikan: keluarga, masyarakat, dan perguruan. Keluarga ditempatkan di tempat yang pertama. Perguruan di tempat terakhir. Pendidikan bagi semua harus oleh semua, di mana saja, kapan saja.
Belajar adalah kegiatan yang paling manusiawi. Mengapa? Karena kemerdekaan jiwa adalah bukti kecerdasan yang paling penting serta asal usul mengapa pertanggungjawaban ditagihkan pada manusia. Sayang sekali persekolahan seringkali tidak ditujukan untuk mencerdaskan warga agar menjadi manusia yang sanggup bertanggung jawab.
Persekolahan sudah menjadi instrumen teknokratik untuk mendisiplinkan warga, bukan untuk memerdekan jiwanya. Warga negara dengan jiwa merdeka akan menyulitkan Pemerintah dan investor.
Yang dipentingkan dalam persekolahan saat ini adalah kepatuhan pada peraturan dan kompetensi teknik untuk mendukung masyarakat industri, bukan kemerdekaan jiwa yang tumbuh seiring dengan kecerdasan hidup. (*)
Zurich, 25/11/2017, dalam perjalanan kembali dari San Sebastian ke Surabaya.