PWMU.CO – Ma’had Ali lil Fiqh wad Dakwah menjadi basis kegiatan utama ustadz Mu’ammal Hamidy dalam mewujudkan obsesinya melahirkan kader-kader ulama. Sebagai Mudir sekaligus pengajar, peran beliau sangat sentral. Tapi kemudian surut, karena menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Isu kelangkaan ulama yang mencuat pada era 80-an, ditanggapi serius oleh beberapa tokoh masyarakat seperti Dr Mohammad Natsir, KH Misbach, KH Sun’an Karwalip, KH Mu’ammal Hamidy, dan beberapa tokoh Dewan Dakwah Islamiyah (DDII) lainnya, dengan mendirikan pendidikan khusus.
Terinspirasi oleh ayat 22 surat at-Taubah, yang menyerukan agar ada sekelompok orang yang memperdalam ilmu agama, maka pendidikan khusus itu disepakati berupa ma’had ali atau pesantren tinggi, yang diberi nama: Al-Ma’hadul Ali litakhrijil Fuqahai Al-Akfa’i. Belakangan namanya berubah menjadi: Al-Ma’hadul Ali lil Fiqh wad Dakwah.
(Baca: Setahun Perginya Ulama Bersahaja Tempat Bertanya, kemudian Penulis Produktif dan Moderat, serta “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal)
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Proyek ini kemudian ditempatkan di masjid Manarul Islam Bangil, dan ustadz Mu’ammal Hamidy diamanahi sebagai mudir atau direktur. Tanpa menunggu lama, amanah ini ditindaklanjuti dengan menyiapkan kurikulum, tenaga pengajar dan calon santrinya.
Selesai semua persiapan, pada akhir Agustus 1984, ma’had ini resmi dibuka. Peresmian sempat tertunda, karena suhu politik nasional kala itu sedang mendidih. Hubungan pemerintah dengan umat Islam memburuk, akibat kebijakan asas tunggal Pancasila yang menuai pro-kontra. Setip tokoh yang berbeda pandangan dengan pemerintah ditangkap dan pusat-pusat kegiatan umat dipantau ketat, tak terkecuali di Bangil. Tapi berkat akses dan lobi Ketua DIII dan Ketua MUI Jatim, KH Misbach, akhirnya peresmian berjalan lancar.
Selanjutnya halaman 02…