Sejak ma’had beroperasi, lebih dari separoh waktu ustadz dihabiskan untuk mengurus program ini. Beberapa matakuliah diampu sendiri, seperti usul fiqih, tafsir ahkam, fiqih ibadah dan fiqih jinayah. Selebihnya diserahkan ustadz lain, seperti ustadz Yazid Pare, Imron Abdul Manan, Abdurrahman Bahalwan, Anas Adnan, Maksum Tasmun, Masyfuk Zuhdi, dan Imam Munawwir.
Ketekunan dan ketulusannya dalam mendidik para santri sangat luar biasa. Hubungan santri-kiai dibangun setara, tidak berjarak. Santri diperlakukan sebagai kawan diskusi, sehingga berdebat, adu argumentasi antara santri dan kiai adalah hal lumrah, tidak seperti dalam pesantren pada umumnya.
(Baca: Setahun Perginya Ulama Bersahaja Tempat Bertanya, kemudian Penulis Produktif dan Moderat, serta “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal)
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Dalam hal kritik juga sangat terbuka. Peristiwa tak terlupakan terjadi ketika dalam pelajaran Tafsir Ahkam, surat an-Nur menjelaskan kewajiban berjilbab bagi setiap muslimah, tiba-tiba salah seorang santri interupsi, meminta pertanggungjawaban terkait putri pertamanya yang belum berjilbab.
Ditanya seperti itu, beliau tidak tersinggung. “Ya, seperti nabi Nuh. Selaku orang tua, saya sudah menunjukkan dan mengajak kepada yang benar. Selanjutnya, terserah dia,” jawabnya dengan ramah.
Di ma’had ini semula menggunakan sistem angkatan, dengan masa studi tiga tahun. Dalam perjalanannya setiap tahun menerima santri baru. Sebagian besar lulusannya, ditugaskan untuk berdakwah di berbagai daerah, sisanya kembali ke pesantren asal. Pada angkatan pertama, dari sekitar empat puluh santri, separohnya tidak kerasan, yang lulus hanya 21 orang.
Selanjutnya halaman 03…