Meski ma’had tidak ada kaitan struktural dengan Muhammadiyah, tapi setelah para rata-rata menjadi aktivis dan pimpinan Muhammadiyah. “Itulah kontribusi terbesar ustadz terhadap Muhammadiyah,” ujar salah seorang sanatrinya.
Selama sekitar lima belas tahun (1984-1997), proses pendidikan berjalan normal. Namun seiring posisi ustadz sebagai anggota legislatif (1997-1999), kondisi ma’had mengalami stagnasi. Pasalnya, sebagai anggota DPR RI mengharuskan dirinya lebih sering di Jakarta, sehingga tidak bisa lagi intensif mengawal santri. Kualitas lulusan pun menurun, dan peminatnya terus berkurang.
Tidak diketahui jelas alasan beliau memilih berdakwah melalui jalur politik. Boleh jadi karena terbujuk rayuan partai untuk jadi vote getter, atau alasan yang lebih pribadi. Pastinya, sejak sering ditinggal ke Jakarta, program ini kurang terkelola dengan baik.
(Baca: Setahun Perginya Ulama Bersahaja Tempat Bertanya, kemudian Penulis Produktif dan Moderat, serta “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal)
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Ketika para alumni berniat merevitalisasi lembaga ini, beliau menyambut antusias dan ingin hanya fokus sebagai kiai. Sementara aspek managerialnya diserahkan pada generasi muda. Ia menyadari, pada aspek managerial itulah kelemahan dirinya.
Belum sempat gagasan itu terwujud, kiai yang sangat egaliter itu sudah dipanggil untuk menghadap oleh yang Maha Kuasa.
***
Setelah lama berkelana di “dunia lain”, mondok di Pesantren Tebuireng yang dikenal konservatif, kemudian di PERSIS Bangil yang sangat progresif, dan di Madinah yang salafis, serta DDII yang politis, ternyata tidak mengubah semangat bermuhammadiyah.
Selanjutnya halaman 04…