PWMU.CO – Mendekati setahun aksi super damai 212, 2 Desember, beredar banyak statemen di berbagai media massa maupun sosial. Tidak terkecuali pendapat Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Din Syamsuddin, yang beberapa di antaranya hanya terkutip sebagian.
Kepada PWMU.CO (30/11/17), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 ini, menyampaikan 6 pandangannya secara utuh tentang rencana Reuni Aksi 212 yang rencananya akan digelar di Tugu Monas.
“Setiap dan semua orang atau kelompok mempunyai hak dan kebebasan untuk mengekpresikan pendapatnya, dalam bentuk dan dengan cara apapun,” jelas Din tentang pendapatnya yang pertama.
Pendapat kedua, bagi Din, kelompok pendukung Aksi 212 juga mempunyai hak untuk mengaktualisasikan diri. “Dan oleh karena itu, gerakan mereka adalah absah di alam demokrasi selama tidak menggunakan kekerasan.”
“Ketiga, saya tidak ikut karena saya mempunyai pendekatan tersendiri dalam beramar makruf nahyi munkar,” tambah Din.
“Dalam pandangan saya, izzul Islam wal Muslimin di Indonesia perlu dicapai melalui pengembangan infrastruktur kebudayaan Islam. Maka diperlukan karya-karya nyata dalam meningkatkan mutu kehidupan umat Islam dalam berbagai bidang,” lanjut Din tentang sikapnya yang keempat.
“Maka oleh karena itu, perlu ada langkah strategis yang lebih menekankan praksisme keislaman daripada menampilkan mobilisasi populisme keagamaan,” kata Din tentang sikapnya yang terakhir atau kelima.
Keenam, masalah yang dihadapi umat Islam di Indonesia, kata Din, adalah masih adanya kelemahan infrastruktur kebudayaan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan informasi.
“Maka, perjuangan yang relevan saat ini adalah mengatasi permasalahan tersebut. Semua sumber daya sebaiknya diarahkan untuk memperbaiki aspek-aspek kebudayaan tadi.
Oleh karena itu Din menyarakankan untuk mengubah strategi dari al-jihad lil mu’aradhah (perjuangan melawan/struggle against) ke al-jihad lil muwajahah (perjuangan menghadapi/struggle for).
“Inilah yang saya maksud perjuangan umat Islam lebih baik mengambil bentuk orientasi praksisme (karya-karya kebudayaan) dari pada orientasi populisme (kerja-kerja kerumunan). (abqaraya/mn)