PWMU.CO – Jejak gerakan Al Maun Muhammadiyah di Madura ternyata sangat panjang.
Salah satu buktinya dapat dilihat dari sejarah berdirinya Panti Asuhan Muhammadiyah Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Berada di bawah Majelis Pelayanan Sosial (MPS) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Pamekasan, panti asuhan ini semakin berkembang. Terbagi menjadi dua, Panti Asuhan Putri dan Putra.
Ditemui di panti, Kamis (21/12/17), Kepala Rumah Tangga Panti Asuhan Putri Muhammadiyah Fathor Rahman mengaku ada 35 anak yang kini tinggal di panti.
“Rata-rata lulus SD masuk sini, Mbak. Sampai kuliah. Kuliahnya pun dibiayai oleh panti hingga lulus dan otomatis menjadi pengasuh di panti,” tutur pria yang juga besar di panti itu.
Fathor—panggilan akrabnya—mengatakan hanya sebentar bertemu pendiri panti Syafur Ach Said.
“Saya masuk panti kelas 1 SMP. Beberapa bulan setelahnya, Pak Said meninggal dunia,” imbuh suami Rahmani, Sekretaris Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Kabupaten Pamekasan.
“Kalau Rahmani ini, masuk panti tahun 1994. Jadi sudah 4 tahun bersama Pak Said,” sambung dia.
Sementara itu, Bendahara Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Pamekasan Ruhayati menceritakan sosok pendiri panti Syafur Ach Said di matanya.
“Panti ini sudah ada sejak tahun 1945. Pak Said, pemilik rumah ini, ndak punya anak. Jadi cari anak angkat untuk diasuh,” ujar Ruhayati sembari menunjuk foto Pak Said di dinding ruang tamu.
Ruhayati menjelaskan dulu anak panti rata-rata lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Pendidikan Agama (SPA).
“Ya biar cepat lulusnya dan saat daftar CPNS juga banyak lulusnya. Karena Pak Said dulu kan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan,” ungkapnya.
Kepada PWMU.CO, Ruhayati menyampaikan perjuangan Pak Said di awal pendirian panti.
“Tahun 1961 itu, Pak Said dapat panggilan perang merebut Irian Barat. Anak asuhnya dikembalikan ke rumah masing-masing. Sepulang perang, dipanggil lagi ke sini untuk diasuh,” paparnya.
‘Alumni’ Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Kabupaten Pamekasan ini menyatakan kekagumannya pada Pak Said pascaperang.
“Paru-parunya sempat kena tembak. Ada bekas jahitan seperti matahari di punggungnya. Itu membuat napasnya tak beraturan seperti orang capek. Tiap hari anak-anak panti memijit bahunya,” ucap kakak Suryani, Ketua PDNA Kabupaten Pamekasan.
Ruhayati bersyukur dipertemukan dengan Pak Said. “Yang berkesan itu keikhlasannya. Diasuh seperti anak sendiri, dan sabar. Kalau bangunin anak shalat tahajud jam 02.00 itu disiram. Anak-anak ya bangun. Tapi nyampe mushala ya tidur lagi. Ha–ha-ha. Tapi Pak Said gak pernah mukul, Mbak,” ceritanya sembari sedikit tertawa.
Istri Drs Mulyono MA ini bercerita pernah tidak punya uang untuk membeli beras.
“Saat itu Pak Said bilang ke anak panti, tv ini tak jual buat beli beras saja daripada kalian liat tv terus gak kenal waktu,” ungkapnya.
Mulyono—Ketua Panti Periode 1998-2016 dikenal di kalangan panti sebagai penerus Pak Said.
Ruhayati mengaku hingga kini orang-orang yang menyumbang ke panti selalu bilang, “Ini untuk pantinya Pak Said.”
“Beberapa tahun sebelum meninggal, Pak Said menghibahkan rumah ini ke Muhammadiyah. Dirinya sendiri beli tanah lagi untuk tempat tinggal,” kenang Ruhayati.
Doa kami, semoga panti ini menjadi amal jariyah bagimu, Pak Said! (Ria Eka Lestari)