PWMU.CO – Postur tubuhnya tak begitu tinggi, juga tak seberapa gemuk. Menggunakan kaos lengan pendek dan celana di bawah lutut, pria paruh baya itu berdiri di tepi sawah.
“Ya tiap hari gini, Nduk. Ngurus sawah. Nanti siang pulang, sore balik lagi,” tuturnya sesekali menarik tali panjang melintang di atas seperempat hektar padinya.
Mustofa, begitu dia biasa disapa. Mentari pagi menemaninya berjaga di sisi petak sawah sembari memegang tongkat dengan kain putih terikat di ujungnya.
“Hush! Hush! Ini kalau ndak ditungguin, bisa habis dimakan. Burung Emprit itu datangnya pagi sampai agak siang. Nanti sore gitu datang lagi,” ujarnya masih sesekali menggoyang-goyangkan tali dan berteriak mengusir burung.
Tinggal berdua dengan istrinya di Desa Sonorejo, Menden, Blora, Mustofa mengaku lebih dekat dengan Allah di usia tuanya.
“Yaaa … bersyukur aja, Nduk. Gusti Allah sudah ngasih padi usia dua bulan lebih ini, kurang 20 hari lagi panen. Lha kalau ndak lewat sembahyang trus lewat apa lagi syukurnya,” ucap pria kelahiran 1952 itu.
Bapak dari dua putra ini menceritakan pengalaman yang tak terlupakan hingga kini. Ketika itu usianya 15 tahun. Mustofa dan teman-temannya tak boleh keluar rumah.
“Gerombolan PKI dari Surabaya berdatangan ke Mbah Suro Nginggil. Kata ibu saya waktu itu, mereka mau mendirikan kerajaan sendiri. Waktu itu keadaan tegang dan takut kemana-mana,” paparnya.
“Jadi Nduk, dulu itu ada yang namanya Surodihardjo. Tinggal di tengah hutan di Desa Nginggil, Menden, Blora. Pertapaannya dijadikan kerajaan senjata para PKI,” imbuhnya.
Mustofa mengatakan tahun 1967 ada penduduk sekitar yang cari kayu bakar. Ketika shalat di hutan itu, para pengikut Mbah Suro Nginggil mengganggunya. Karena tidak terima ibadahnya diganggu, dia melapor pada kepolisian setempat.
“Alhamdulillah sudah dibubarkan tahun itu. Tapi ya sempat perang dan banyak anggota ABRI yang mati tertembak. Masyarakat Menden sekarang bisa sembahyang dengan tenang, ndak sembunyi-sembunyi lagi,” tegasnya.
Sembari menepikan sepeda ontelnya, Mustofa berpesan anak-anak zaman sekarang harus banyak bersyukur.
“Gusti Allah sudah ngasih rezeki. Mau sembahyang di mana pun bebas. Jadi ibadahnya sudah harus bagus, Nduk. Ndak boleh bolong-bolong,” pesannya. (Ria Eka Lestari)