Oleh Prof Syamsul Arifin
PWMU.CO – Penasaran dengan harga tiket first class, saya coba browsing di internet. Sudah tidak terhitung berapa kali naik pesawat terbang, baik untuk perjalanan domestik maupun internasional, saya tidak pernah membeli atau kalau perjalanan karena ditanggung pihak sponsor, mengantongi tiket first class.
Berdasarkan penelusuran di Internet, harga tiket first class untuk penerbangan internasional membuat saya merinding. Tidak usah pelayanan secara lengkap, sekadar menikmati tempat duduknya saja, belum pernah. Tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan kalau pada akhirnya saya bisa menempati firt class dalam penerbangan internasional dari Jeddah ke Surabaya dengan pesawat Saudia Arabia.
Pernah melakukan perjalanan ke Provo, Utah, Amerika Serikat, sekadar menyebut salah satu perjalanan internasional saya, yang memakan waktu 30 jam lebih sedikit, duduk di kelas ekonomi, saya dibekap capek yang luar biasa begitu tiba di tempat tujuan.
Perjalanan dari Surabaya ke Madinah atau dari Jeddah ke Surabaya memakan waktu sekitar 10 jam. Masih lebih pendek dan singkat jika dbandingkan dengan perjalanan ke Utah, Amerika.
Sewaktu keberangkatan dari Surabaya-Madinah, duduk di kelas ekonomi, ditambah lagi harus tetap “alert” dengan kondisi ayah, wajar jika capek tetap terasa.
Kondisi agak berbeda saya rasakan sewaktu perjalanan dari Jeddah menuju Surabaya. Tentu saya harus tetap “alert” terhadap kondisi ayah apalagi kondisi kesehatan dan fisiknya menurun secara signifikan. Penyebabnya karena fasilitas duduk di first class itu.
Jeddah, di seberang pusat perbelanjaan Balad Corniche, Rabu 27 Desember, saya meninggalkan ayah, mertua, dan Razes di dalam bus. Kalau saja tidak penasaran dengan Kedai Bakso Mang Oedin yang masyhur di kalangan jamaah haji dan umrah dari Indonesia dan ingin belanja mencari tambahan oleh-oleh untuk Reza, sulung saya, memilih bertahan di bus akan jauh lebih baik. Apalagi stok Riyal saya sudah sangat menipis.
Di Balad Corniche, saya bergerak cepat karena memang waktu yang disediakan sangat terbatas. Sebelum ke Balad Corniche, bus hanya melewati Masjid Qisos. Kuburan Siti Hawa juga demikian. Waktu yang disediakan memang pendek. Padahal baik Masjid Qisos dan Kuburan Siti Hawa menarik kalau dieksplorasi. Selalu ada sesuatu yang menarik di balik penamaan suatu tempat dan bangunan.
Qisos merupakan praktik hukum dalam Islam yang berarti pembalasan. Terkadang disebut saja, “utang nyawa dibalas nyawa”. Hukum pancung, disebut juga secara demikian.
Di kuburan Siti Hawa yang konon paling panjang di kompleks pemakaman itu, 5 meter, tidak ada yang bisa dieksplorasi karena hanya bisa dilihat dari dalam bus.
Sebelum kumandang adzan Maghrib, saya menyebarang cepat dari Balad Corniche. Saya ingin menjemput ayah, Razes, dan mertua untuk makan malam. Sia-sia saja rencana penjemputan ini. Ayah menggigil. Goncangannya begitu kuat dan cepat. Saya kira AC bus bukan satu-satunya pemicu. Satu hari jelang kepulangan ke Tanah Air, kata isteri saya, ayah tidak bisa tidur. “Ayah semalaman tidak tidur,” kata isteri saya yang sekamar dengannya, mertua, dan Razes. “Saya sudah minta agar tidur,” sambung isteri, “tetapi tetap tidak mau.” Selalu seperti itu jika hendak bepergian. Ini menurut cerita adik saya di Madura, “Abah semalaman tidak tidur Kak. Padahal besok mau berangkat umrah.”
Beberapa kawan menyebut ayah saya, mungkin excited. Sementara lainnya mengatakan dilanda kecemasan sehingga susah tidur. Masalahnya, suasana excited, kecemasan, entah apa lagi, tidak ditopang oleh ketahanan fisik yang memadai. Belum lagi satu hari jelang kepulangan, selera makannya juga jatuh hingga ke titik nadir. Maka kian kompleks penyebab menurunnya kesehatan ayah. Di Madinah dan juga di Mekah, berjalan hingga 10 meter masih kuat. Tetapi di Jeddah, di seberang Balad Corniche, alih-alih berjalan dalam jarak yang superpendek, menyangga tubuhnya sendiri saja tidak bisa.
Bukan hanya pada hilangnya kekuatan ayah sekadar untuk berdiri dalam hitungan tidak sampai satu menit yang membuat saya tidak tahan mengungkapkan tentang adanya tanda-tanda akhir perjalanan kehidupan pada ayah yang sudah berusia 74 tahun, tetapi masih ada yang lainnya.
Ayah dipapah keluar dari bus. Harapan saya, ayah terbebas dari AC dan merasakan atmosfir udara sore di sekitar Balad Corniche. Saya tidak tahu apakah atmosfir itu bisa dirasakan. Sebab saya sama sekali tidak melihat perubahan ekspresi pada wajah ayah.
Alih-alih perubahan ke arah itu, di luar bus, secara tiba-tiba dan sama sekali tidak saya duga, ayah kencing dengan deras. Berikutnya, ayah buang air besar. Tidak cukup sekali. Diulangi lagi kegiatan tersebut yang seharusnya dilakukan di ruang tertutup. Infancy, tiba-tiba saya mengingat kata ini, kata yang digunakan sebagai konstruk penjelas terhadap rentang hidup, life-span, yang bisa dideskripsikan sebagai berikut,.”the early stage of growth or development,” yakni masa anak-anak, balita. Salah satu episode yang krusial dalam hidup saya tiba-tiba muncul dalam ingatan saya. Ingatan tentang pada masa infancy.
Pada saat itu, ayah melakukan tindakan penyembuhan pada saya yang dilakukan di ruang terbuka, di teras toko, semua orang bisa melihat saya dan ayah. Saya duduk setengah telanjang. Setengah dari tubuh saya yang tertutup hanya bagian perut hingga dada. Di bawah alat vital saya, diletakkan ember berukuran lumayan. Sudah beberapa hari saya tidak bisa kencing.
Saya merasakan sakit tak terperikan jika hendak kencing yang selalu berujung pada kegagalan. Kalau saja ayah saya membawa ke dokter, mungkin tidak hanya obatan-obatan yang diminumkan ke saya, tetapi juga tindakan operasi.
Derita saya–orang tua mana yang tidak terdampak secara psikologis terhadap penderitaan anaknya– diketahui oleh seorang tetangga yang berprofesi sebagai tukang pijat, di samping penjual rujak khas Madura. Saya tidak tahu referensi yang dirujuk oleh tetangga saya itu karena sarannya yang kemudian dilakukan ayah, sungguh di luar nalar, tetapi memberi dampak signifikan terhadap perjalanan hidup saya ke tahapan life-span berikutnya.
“Coba anunya Syamsul itu kamu sedot dengan mulutmu sendiri sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa bernafas. Dan setiap sedotan awali dengan membaca bismillah,” begitu saran aneh dari tetangga saya, Bu Dulpani namanya.
Ajaib, air kencing mengucur deras ke arah ember. Kelegaan merasuk ke seluruh tubuh dan jiwa saya setelah berhari-hari dibekap penderitaan karena susah buang air kecil. Sekali lagi, orangtua mana yang tidak merasakan hal yang sama yang dirasakan anaknya.
Ayah seperti kembali ke masa infancy. Di toilet pesawat keberangkatan dari Surabaya-Jeddah, saya berdua dengan ayah. Saya menjadi “ayah” bagi ayah saya yang seperti memasuki kembali masa infancy-nya.
Saya melatihnya bagaimana buang air kecil dan besar, dan bagaimana pula melakukan pembersihan serta penyucian dengan merujuk pada fiqh darurat. Di luar bus, di area parkir seberang Balad Corniche, sia-sia jika ayah diperlakukan sebagaimana pengalaman di toilet pesawat itu. Saya, isteri, dan mertua, secara bergantian melakukan tindakan pembersihan dan mengabaikan tindakan penyucian begitu ayah selesai dari “buang hajat”.
Dalam suatu perjalanan yang melibatkan banyak orang, apalagi motivasi keagamaan dan keruhanian di balik perjalanan tersebut, solidaritas mudah terbentuk. Saya merasakan “mestakung”, semesta mendukung, bukan terhadap proses penyembuhan ayah. Karena penangkapan saya pada tanda-tanda akhir itu, alih-alih keputusasaan, tetapi karena saya ingin menghayati suatu makna pada kepasrahan, kalau harapan saya pada mestakung itu bukan kepada kesembuhan, tetapi tidak lebih ingin melihat wajah ayah dengan ekspresi memberikan harapan hingga pada saatnya tiba di tanah air.
Saya mungkin dan tidak berkeinginan melihat tanda-tanda akhir pada ayah. Saya ingin ayah merasakan sesuatu excited pasca-umrah. Bagian dari excited itu, ayah akan bercerita pengalaman ke tanah suci setelah 42 tahun tidak mengunjunginya.
Tetapi sejatinya ayah jauh lebih awal melihat dan merasakan mengalami secara mendalam apa yang saya sebut dengan tanda-tanda akhir itu. Tidak hanya kepada saya menyampaikan penglihatan pada tanda akhir-akhir, tetapi juga disampaikan juga kepada orang-orang terdekatnya.
Sepuluh hari sebelum keberangkatan, menurut cerita ibu saya, disampaikan kalimat yang di dalamnya terdapat sinyal tanda-tanda akhir kepada ibu saya yang dipanggil oleh ayah secara elegan, namanya saja, Sutimah, “Mah, diikhlaskan ya kalau nanti saya wafat saat umrah.” “Saya mau umrah, diajak Syamsul. Kalau saya mati saat umrah,diikhlaskan ya,” kata ayah kepada orang terdekat yang lainnya, beberapa hari sebelum keberangkatan.
Mestakung di dalam bus jelang penerbangan pulang dari Jeddah, membuahkan hasil dengan level minimalis. Wajahnya mulai terlihat lebih segar setelah salah seorang jamaah yang saya panggil syaikh, memberi sentuhan mulai dari atas hingga ke kaki. Sebagian yang lain memberi sentuhan secara medis. Lainnya lagi memberikan endorsement, dukungan, dengan doa.
Kini tiba saatnya membayangkan apa yang terjadi di dalam pesawat. Selalu dimasukkan dan dikeluarkan paling akhir bagi penumpang dengan kursi roda. Pun demikian di bandara Jeddah. Pada sesi kepulangan ini saya merasakan wheelchair transporter yang khusus diperuntukkan bagi difabel dan pengguna kursi roda. Saya dan ayah serta satu lagi pengguna kursi roda betul-betul masuk paling akhir.
Mudah-mudahan begitu memasuki kabin pesawat, saya tidak diarahkan belok kiri ke barisan kursi kelas ekonomi sesuai dengan nomor seat saya dan ayah. Afirmasi singkat saya membuahkan hasil. Ali, senior attendace asal Tunisia, mengarahkan saya belok ke kanan dan terus menunjukkan kursi di urutan paling depan, kursi first class.
Bagi saya, duduk di first class akan memberikan ruang lebih luas dan nyaman kepada saya, suatu kondisi yang ideal mendampingi ayah dalam penerbangan selama 10 jam. Apalagi setelah pesawat Saudia Arabia melewati fase “critical eleven“, Ali, Badruddin, pramugara yang juga dari Tunisia, dan Wulan, pramugari asal Jakarta, menunjukkan keramahtamahan (hospitality) level tinggi kepada saya dan ayah. Saya berharap, meskipun kesadaran ayah terus menurun, ayah masih bisa membedakan antara suasana di kelas ekonomi dengan first class.
Kalau pun harapan ini tidak terasakan oleh ayah, saya yang memang bisa menikmati atmosfir di first class, bisa memberikan pelayanan yang baik kepada ayah yang mungkin semakin merasakan kedekatan dengan tanda-tanda akhir. Tetapi, ya Allah, tawaran makan ditampiknya. Teh hangat dicampur gula supaya terasa manis, hanya dinikmati hanya sampai lima kali tegukan, itu pun sendok berukuran tiga kali lebih kecil dengan sendok teh.
Setelah ayah minta ke toilet dan di dalamnya saya melakukan penggantian pempers, tidak ada lagi aktivitas yang saya lakukan terkait pelaksanaan pelayanan kepada ayah. Sesekali dari kersi saya meliriknya. Berikutnya saya terlelap tidur hingga 5 jam. Bangun dari tidur yang lumayan panjang, saya menjumpai ayah masih dengan posisi semula. Masih 4 jam lagi. Lumayan, saya bisa menghabiskan beberapa halaman buku Philip K. Hitty, The History of Arab.
“Syam,” panggil saya kepada adik saya Syamsiyah yang menjemput kedatangan ayah di Juanda, “Ayah langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.”
Hanya dua malam ayah di rumah sakit. Meskipun sempat dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit (ICU), tarikan tanda-tanda akhir lebih kuat menghampiri ayah. Tepat jam 22.20, pada hari yang sama dengan kepergian ibu 42 tahun silam, ayah menghembuskan nafas yang paling akhir.
Tanggal 30 Desember, pukul 08.00, saya mengambil posisi terdepan mengantar ayah ke alam transit, barzah. Sambil mendengarkan kalimat tauhid yang terus dilafafzkan dengan nada teratur oleh pengiring ayah, memori saya kembali ke momen-momen indah di Madinah, Mekah, dan Jeddah.
Hanya sembilan hari saya mendorong ayah. Saya tidak bisa menghitung berapa lamanya ayah mendorong kehidupan saya hingga saya antara lain mencapai level akademik sebagai profesor yang dia sendiri sama sekali tidak paham, apa itu profesor.
Di samping pusara ayah, saya berdoa dengan suara serak, “Ya Allah, saya bersaksi atas semua kebaikan dan kebajikan yang telah diperbuatnya. Tidak hanya selama sembilan hari di Rumah-Mu, tetapi pada waktu-waktu sebelumnya. Ya Allah, kebaikan dan kebajikan ayah, antara lain saya adalah wujudnya. Ya Allah, atas semua kebaikan dan kebajikannya, berilah ayah tempat yang layak.”
Mengakhiri catatan ini, saya ingin menuliskan dua hal. Pertama, syukur kepada Allah yang menciptakan momen indah dalam hidup saya dan ayah. Momen yang tidak terjadi secara kebetulan. Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu secara kebetulan.
Kedua, terima kasih secara tulus kepada kawan, kolega, dan kerabat. Mereka tidak hanya mengirim ucapan duka lewat medsos, bahkan mendatangi rumah duka kendati dalam keadaan payah.
Rumah Duka, 31 Desember 2017.
Prof Syamsul Arifin, Waki Rektor Universitas Muhammadiyah Malang