Perihal melihat awal bulan dengan mata telanjang yang berlaku di zaman Nabi saw, memang harus diakui. Namun, sangat kuat sekali sebabnya karena ketika itu zaman pengetahuan belum sehebat sekarang ini. Karenanya, ketika Nabi saw ditanya “mengapa bisa terjadi beberapa kali bulan sabit/yas’alunaka ‘anil ahillah” (QS al-Baqarah: 189), beliau disuruh oleh Allah swt menjawab perihal kegunaannya: untuk penetapan waktu-waktu, bukan dijelaskan prosesnya. Termasuk cara menentukan arah kiblat bagi daerah yang jauh dari Masjidil Haram, beliau cukup mengatakan:
مَابَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
Di mana saja antara timur dan barat itulah kiblat. (HR IbnuMajah dan Tirmidzi)
(Baca: Belum Yakin Arah Kiblatmu? Hari ini Waktu Terbaik Meluruskannya dan Umat Islam Bersatu saat Gerhana)
Itu pun beliau menggunakan kata “antara timur dan barat”, karena sabda itu diucapkan di Madinah, sedang Makkah/Masjidil Haram terletak di selatan Madinah. Buat kita sekarang ini ketika menentukan arah kiblat adalah dengan menggunakan kompas. Karena itu, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan pernah secara demonstratif mengubah arah masjid Kauman Yogya ke arah kiblat yang sebenarnya, dengan meletakkan kompas. Tidak lagi “antara timur dan barat”.
Yang kedua, masalah ilmu hisab dalam hukum Islam. Para pakar hukum, yang dikenal dengan Imam Mazhab, ternyata menolerir dan membenarkan eksistensinya. Secara de-facto, seluruh ulama Islam di dunia sekarang ini mengakuinya dengan bukti dibenarkannya ada kalender Hijriyah, dan pengenalan waktu shalat dengan cukup melihat jam dinding, yang semuanya itu adalah hasil olah dan penemuan ilmu Hisab. Termasuk diakui oleh yang tidak mau hisab untuk mengetahui awal Ramadhan dan Syawal.
(Baca: Ramadhan, Lebaran, Idul Adha 2016 akan Bersamaan)
(Baca: Awal Puasa 6 Juni, Idul Fitri 6 Juli)
(Baca: Panduan Hisab dan Tuntunan Ibadah Ramadhan)
Mujamma’ul Fiqih dalam Rabithah Alamil Islami telah membentuk Lembaga Ilmu Falak sebagai badan otonom, yang sementara ini berpusat di Ankara, Turki, yang anggotanya para ulama ahli falak seluruh dunia Islam. (Lebih lanjut bacalah Bidayatul Mujtahid, oleh Ibnu Rusydi, Nailul Authar oleh Imam Syaukani dan Yas’alunaka ‘Aniddiini wal Hayah oleh DR Syirbashi).
Kesimpulannya, bahwa hisab yang dilakukan Muhammadiyah dan juga oleh ormas-ormas Islam lainnya, tidak bid’ah, karena tidak dimasukkan dalam ibadah mahdlah. Adanya bid’ah dhalalah hanya dalam ibadah mahdlah, dan keberadaan hisab masih dalam koridor al-Qur’an (QS Yunus: 5 dan Yasin: 37-40), dan sunnah.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS Yunus: 5)
وَآَيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ لاَ الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَ اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS Yasin: 37-40)
(Diolah dari “Islam dalam Kehidupan Keseharian” karya KH Mu’ammal Hamidy)