PWMU.CO – Di tengah maraknya gerakan pemurtadan yang merisaukan umat Islam akhir-akhir ini, secara tidak sengaja PWMU.CO bertemu mantan misionaris Kristen, di tengah jamaah Pengajian Ahad Pagi, di Masjid Ummul Mu’minin, Surabaya (14/1/18).
Kepada PWMU.CO, ia menuturkan kisah perjalanan hidupnya yang semula membenci Islam, hingga proses menjadi muallaf, dan sebagai salah satu ujung tombak dakwah Islam.
Saya dilahirkan dari keluarga Kristen dari pasangan Eko Riyanto dan Sugiarti Endah W, di desa Kristen Sidorejo, Pare, Kabupaten Kediri. Saya anak ke-6 dari 8 bersaudara, dengan nama Kristin.
Ketika berumur 19 tahun, saya menjadi aktivis di gereja di Pare, Kabupaten Kediri. Karena prestasi pelayanan di gereja dinilai bagus, saya direkomendasikan untuk masuk sekolah Sekolah Teologi Malang sebagai evangelis atau misionaris.
Sebagai misionaris, pandangan saya tentang agama Islam sangat negatif. Karena doktrin yang selalu ditanamkan, Islam adalah agama rendahan. Islam itu agama seorang budak, agama yang terlahir dari keturunan budak Hajar, istri Ibrahim yang kedua. Sementara Kristen dari keturunan istri pertama, Sarah. Lebih dari itu, Islam adalah agama sesat, karena hanya meng-copy kisah-kisah dari Alkitab. Nabinya juga buta huruf.
Sebagai misionaris, saya sering keliling daerah dengan misi meng-Kristenkan orang yang belum Kristen. Sasarannya, orang-orang bodoh. Yakni mereka yang tidak sembahyang, tidak paham agama, dan berpendidikan rendah. Hal ini mudah bagi saya mendoktrin mereka untuk menerima Yesus sebagai juru selamat, dan dengan berbagai cara saya lakukan.
Dalam menjalankan tugas, saya dituntut untuk sekreatif mungkin agar menarik minat orang-orang yang belum Kristen. Caranya, antara lain: memberikan pembinaan gratis bagi para pecandu narkoba; memberikan perhatian pada orang-orang miskin dan memberikan bantuan sesuai kebutuhannya (butuh biaya melahirkan, sakit, konseling).
Saya juga harus memberikan pendidikan gratis; memberikan hiburan gratis, seperti panggung boneka, tarian, drama, nyanyian, malam api unggun, dan lain-lain yang semuanya menyenangkan dan dikemas dalam kekristenan.
Setelah melakukan tugas, saya kembali ke kampus dan menyampaikan hasil atau kendala di lapangan. Misalnya, berapa orang dalam minggu ini yang sudah dikristenkan dan bagaimana menyiasati kendala-kendalanya. Selanjutnya, kami terapkan hasil sharing tersebut di lapangan dan begitu seterusnya.
Di-DO dari Misionaris
Saat itu, saya sudah membentuk tim khusus untuk misi ke pelosok Indonesia. Saya juga diminta rektor untuk membatu mengembangkan program teman (mantan Frater–calon Pastur), untuk memberikan kursus gratis kepada anak-anak berprestasi.
Tapi saya justru dijebak untuk mendirikan lembaga pendidikan secara legal. Padahal menurut peraturan hal itu tidak boleh saya lakukan selama mendapat beasiswa di STAN.
Akhirnya, saya di-DO dari STAN. Ternyata, ini adalah strategi teman membawa saya masuk Katolik. Beberapa bulan, saya tinggal dan belajar Katolik di Dampit, Malang. Tapi hati saya merasa tidak bisa menerima pelajaran Katolik. Lalu pada 2003, saya memutuskan pergi meninggalkan semua urusan agama, ke Jakarta.
Di Jakarta saya bekerja sebagai agen asuransi. Pada suatu hari, saya salah masuk mobil, yang ternyata di dalamnya ada profesor IPB yang akan menemui Prof Amien Rais—Ketua MPR ketika itu—untuk rapat proyek pembuatan pupuk organik. Namun keteledoran saya justeru menjadi peluang untuk terlibat dalam proyek, yaitu sebagai broker penjamin proyek.
Tiga bulan saya bekerja, ternyata hasilnya ditipu teman lagi, dengan berkas palsu yang diberikan ke saya. Gagal dan gagal, membuat saya merasa putus asa.
Sejak SMP saya memang suka usaha ‘apa saja’ yang menghasilkan uang. Sempat sukses tapi tidak lama, ending-nya ludes juga.
Saat di Jakarta, saya sempat bertanya kepada Tuhan. “Tuhan! Apa yang Kau mau dari saya? Saya lelah, sebagai seorang anak saya butuh keluarga (saat itu saya pergi dari rumah sekitar satu tahun). Jika ada keluarga yang menerima saya apa adanya, dari aliran apa pun: hitam, putih, ataupun abu-abu, saya akan terima dan saya anggap itu adalah jalan yang Tuhan berikan.
Berbagai hal saya lewati. Akhirnya, saya dipertemukan dan diterima oleh keluarga Muslim di Bogor. Mereka tinggal di tengah sawah dengan kehidupan sederhana. Tetapi justru di sini saya merasa diterima dan nyaman di hati. Di sinilah saya mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nama saya pun berubah menjadi S. Ainun Kholifah.
Walau sudah bersyahadat dan belajar shalat, tapi hati saya serasa belum Islam. Maka saya mengadu kepada Allah SWT “Berikanlah aku hidayah-Mu ya Allah, dan jadikanlah aku Islam karena-Mu!”
Suatu ketika saya melakukan perjalanan dari Bogor ke Jakarta bersama kakak angkat, dengan sepeda motor. Kami sempatkan istirahat di rumah teman yang tinggal di dalam lingkungan peternakan ayam (rumahnya terbuat dari bilik seng).
Saat itu, saya numpang shalat duhur. Pada rakaat terakhir, saat sujud, saya melihat di sekeliling saya putih semua, seperti di antara awan putih, dan saya merasakan kedamaian di hati yang luar biasa.
baca juga: Waspada! Upaya Pemurtadan Kini Dilakukan dari Rumah ke Rumah Warga Muslim
Dalam hati saya bertanya, “Inikah hidayah-Mu ya Allah?” Entah berapa lama saya merasakannya, tetapi seakan saya diminta untuk menutup shalat. Saat saya akhiri shalat, mata saya sudah bengkak penuh air mata.
Itulah pengalaman spiritual terindah saya, yang hingga kini belum pernah merasakannya lagi. Akhirnya saya mengakui dan merasakan bahwa saya telah menjadi Islam.
Pertama kali saya ikut pengajian di kompleks, sudah mendapat cemoohan dan sindiran yang memandang saya rendah sebagai muallaf. Hal ini membuat saya tidak percaya diri dan takut berbaur dengan orang Islam.
Setahun pernikahan, kami baru menyampaikan ke pihak keluarga bahwa kami sudah menikah. Hal ini membuat murka orang tua suami. Pernikahan kami mengalami pertentangan. Karena keluarga suami tidak percaya dengan ke-muallaf-an saya. Perlu proses lama untuk meyakinkan keluarga suami bahwa saya menerima Islam karena Allah SWT. Hingga kini, perlakuan perih terkadang masih saya jalani.
Iman manusia seperti gelombang air laut, kadang pasang dan kadang surut. Demikian pula iman saya. Ketika baru menjadi muallaf, cinta kepada Allah SWT begitu menggebu, tapi seiring berjalannya waktu, cinta mulai tergoda. Hati saya begitu keras, padahal Allah sudah memberikan kemudahan nyata, tapi saya menutup mata.
Suatu hari, saya pernah inbox Facebook Steven Indra Widjaja, muallaf yang kini jadi mubaligh. Alhamdulillah saya dapat respon dan diundang ikut di kegiatannya, tetapi saya tidak hadir dan melupakannya.
Beberapa waktu kemudian, saya coba kontak Irene Handono Center (kebetulan rumahnya dekat dengan rumah saya), tapi saya mengurungkan niat untuk hadir, karena saat saya mendengarkan ceramahnya yang membombardir agama Kristen, mental saya belum siap.
baca juga: Kisah Calon Pendeta Maria Sugiyarti yang Akhirnya Dapat Hidayah Masuk Islam
Saya coba daftar sekolah Agama Islam di Jakarta Pusat, tapi ditolak. Karena syaratnya wajib bisa baca al-Quran. Akhirnya saya belajar di Darut Tauhit (Aa Gym), di Jakarta Selatan. Berjalan beberapa bulan, saya terpaksa berhenti, karena ikut suami ke Kalimantan tahun 2006.
Di Kalimantan, kami terbuai dengan kesuksesan bisnis telekomunikasi dan lupa dengan komitmen. Pada 2013, Allah SWT izinkan dua perusahaan kami di bidang telekomunikasi dan home industry sandal, bangkrut hingga minus ekonomi.
Hal ini berjalan hampir sebulan. Setiap bangun, saya shalat tobat. Pernah sore hari, tiba-tiba terbayang bagaimana sakitnya urat-urat yang tertarik dari ujung kaki hingga ujung rambut saat nyawa tercabut.
Suatu malam, saya pernah terbangun dalam keadaan mengigil kedinginan, merasakan lembab dinginnya tanah dan gelap, seakan saya telah di dalam kubur. Hal ini semakin membuat saya takut akan kuasa dan hukuman Allah.
Seperti ditegaskan dalam al-Quran surat Az- Zumar ayat 53, bahwa menerima, menjalani dan menikmati apa yang ada, manut saja sama Gusti Allah SWT, itu adalah yang terbaik, maka aktivitas saya sekarang lebih fokus pada pendalaman agama Islam.