Meruntut tanggal penulisan surat-suratnya, jelas sekali Kartini telah menjadi semakin cerdas dengan berpegang teguh pada ajaran Islam. Awalnya, memang ia terkagum-kagum dengan kehebatan dan tingginya peradaban Barat, namun pada akhirnya mengacuhkannya. Menurutnya, banyak hal-hal dari Barat yang tidak layak disebut peradaban. Awalnya, memang ia tercerahkan dengan dahsyatnya pemikiran Barat, namun pada akhirnya beliau ber-istighfar (bertaubat).
Awalnya, dia ingin memperjuangkan “kesetaraan gender”, namun pada akhirnya yang diinginkan adalah “keserasian gender”. Keserasian antara peran dan tanggungjawab laki-laki dan wanita di rumah maupun di luar rumah. Bukan saling mengalahkan dan menyalahkan, tetapi saling berjalan beriringan sesuai perintah Islam.
Pada akhir hidupnya yang sangat singkat, gelar tertinggi yang ingin Kartini miliki hanyalah sebagai abdillah (hamba Allah). Dan ketika Kartini bertasbih, yang diinginkan adalah kemuliaan Islam, menjadikan umat agama lain mencintai agama Islam.
(Baca: Kartini Jadikan Al-Qur’an sebagai Inspirasi Pembaharuan dan Lebih dari Sekedar Kartini)
Dalam berbagai suratnya, Kartini juga mengungkapkan prinsip-prinsip dan pandangan hidupnya kepada Ny Abendanon. Pertama, tentang belajar tak kenal umur, “… belajar pada usia yang sudah matang ada pulalah keuntungannya. Kami sekarang mengerti jauh lebih baik dan memahami segala sesuatu. Dan, banyak hal, yang dulu bagi kami mati sekarang menjadi hidup. Kami tertarik terhadap sangat banyak hal yang dulu tidak kami pedulikan, semata-mata hanyalah karena: kami tidak mengerti.” (8 April 1902)
Kedua, tentang cita-cita. “Dalam gelap dan kabut itu terlihatlah oleh kami suatu bayang-bayang yang bersinar-sinar dengan indahnya, melambai-lambai dengan ramahnya. Itulah cita-cita kami! Tidak, kami tahu sekarang. Kami tidak dapat lagi melepaskannya, sudah menjadi satu dengan kehidupan kami. Melepaskan cita-cita itu berarti menenggelamkan diri. … Kami harus diberi hati baru, otak baru, dan darah baru, apabila hendak mengubah pikiran dan perasaan kami …” (29 November 1901)
(Baca: Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Ketiga, tentang kepeloporan, “Harus ada seorang yang memberi contoh. Kami yakin bahwa jika seorang mempunyai keberanian untuk memulai, banyak orang yang akan mengikuti. Sungguh, usaha ini tidak akan sia-sia. Soalnya hanyalah, seorang harus mendahului dan contohnya harus baik, dapat dipercaya. Yang seorang menunggu yang lain. Tidak ada seorang yang berani menjadi yang pertama.” (21 Desember 1901)
Keempat, tentang doa kepada Tuhan, “Di langit tiada awan yang selamanya tetap, demikian pula tiada sinar matahari yang memancar terus-menerus. Dari malam yang gelap gulita, kerap kali lahirlah pagi yang teramat indahnya. Dan itulah pelipur hati saya. Kehidupan manusia merupakan pencerminan kehidupan alam yang paling baik. Yang harus kita panjatkan tiap-tiap hari kepada Tuhan, ialah doa, semoga kita dikaruniai: kekuatan!” (28 Juli 1902)
Kelima, tentang hidup adalah cobaan, “Jangan berputus asa, dan jangan menyesali nasib malang. Sehingga menjadi bosan hidup. Kesengsaraan membawa nikmat. Tidak ada sesuatu yang terjadi berlawanan dengan Rasa Kasih. Kutuk hari ini, besok ternyata rahmat. Cobaan adalah pendidikan dari Tuhan!” (4 Juli 1903)
Cuplikan surat di atas memberi gambaran jelas tentang visi misi Kartini tentang wajibnya mencari ilmu, kerja keras meraih cita-cita, memberi keteladanan, pentingnya berdoa dan ketegaran menghadapi cobaan. Dari curahan hatinya, Kartini juga adalah sosok yang religius. (eka sugeng ariadi, pernah dimuat di Majalah Matan edisi Mei 2013)