PWMU.CO – Saat Konggres Aisyiyah dan Muhammadiyah digelar pada tahun 1926 di Surabaya, peran perempuan itu terlihat nyata. Ia termasuk perempuan pertama yang tampil menyolok di muka publik organisasi. Memimpin kongres yang tengah berlangsung. Tampak menatap tegak di majelis sidang organisasi yang dipandunya. Di sampingnya duduk para pria wakil pemerintah, perwakilan organisasi-organisasi yang kebetulan belum mempunyai bagian keperempuanan.
Ketika itu, keterlibatan perempuan dalam organisasi masih suatu hal yang tidak ‘lumrah’. Sampai-sampai, koran Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po menulis besar-besaran di headline mengenai tampilnya perempuan memimpin kongres. Begitulah, sejarah akar perjuangan perempuan di negeri ini memang sebenarnya tidak hanya bertumpu pada sosok Kartini. Lalu siapa perempuan itu?
Perempuan pendobrak ‘tabu’ itu adalah istri KH Ahmad Dahlan, Siti Walidah. Puteri Kyai Haji Muhammad Fadli, penghulu Keraton Nyayogyokarto Hadiningrat, yang lahir pada tahun 1872. Sebagai anak seorang ulama, masa kecilnya dihabiskan untuk menuntut ilmu agama. Hampir tiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kauman, Siti Walidah belajar al-Quran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon).
(Baca: Ketika Kartini Bertasbih dan Kartini Jadikan Al-Qur’an sebagai Inspirasi Pembaharuan)
Dahaga ilmu agama seolah terpuaskan setelah ia menikah dengan KH Ahmad Dahlan. Ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh suaminya. Bahkan, ia kemudian mengikuti jejak KH A Dahlan menggerakkan Muhammadiyah.
Meski Siti Walidah memperoleh pendidikan dari lingkungan keluarga, namun ia mempunyai pandangan yang luas. Hal itu diperoleh karena pergaulannya dengan para tokoh Muhammadiyah maupun pemimpin bangsa lainnya: Jenderal Sudirman, Bung Karno, KH Mas Mansyur, dan lainnya.
(Baca: Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno, yang artinya ‘siapa cinta’ tahun 1914. Kegiatan Sopo Tresno hanyalah pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh Nyai Dahlan dan suaminya. Barulah pada 22 April 1917, ia dirubah menjadi organisasi dengan nama usulan KH Fachruddin: Aisyiyah.
Siti Walidah dan pemimpin Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan kolot yang menyebut sepak terjangnya sebagai ‘melanggar kesusilaan wanita’. Di sisi lain, ia menanamkan ide baru bahwa perempuan bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki.
(Baca juga: Cara Nyai Ahmad Dahlan Mendidik Anak)
Siti Walidah memilih ‘mengajari’ masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum perempuan.
Siti Walidah berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 31 Mei 1946. Tidak hanya warga Muhammadiyyah dan Aisyiyah saja yang berkabung, tapi hampir seluruh umat Islam Indonesia. Dia dimakamkan di pemakaman Kauman Jogyakarta dan dihadiri Menteri Sekretaris Negara, Mr AG Pringgodigdo mewakili pemerintah. Atas jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1971, presiden menyerahkan Surat Keputusan pengukuhannya sebagai Pahlawan Nasional. (abidin)