Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy *)
PWMU.CO – Kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Afghanistan menuai banyak tanggapan dari masyarakat, terutama di kalangan nitizen.
Terjadi pro dan kontra. Ada yang memuji dan menyanjung setinggi langit atas kunjungan kenegaraan tersebut. Sebaliknya ada yang begitu sumbang dan sinis menanggapinya.
Tulisan ini mencoba mengambil posisi tengah, dengan memberikan apresiasi tapi juga mengkritisinya.
Kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ini patut mendapatkan apresiasi. Pertama, negara yang dikunjungi adalah negara konflik. Konflik ini sudah berlangsung sejak era Perang Dingin. Sebelum runtuhnya Uni Sovyet, Afghanistan berada di bawah kepemimpinan Presiden yang boneka Uni Sovyet bernama Najibullah yang ditopang penuh oleh Tentara Merah.
Terjadi perlawanan terhadap Najibullah. Tokoh-tokoh seperti Burhanuddin Rabbani, Ahmad Syah Mas’od dan banyak lagi merupakan pejuang-pejuang Afghanistan, tentu dengan bantuan negara “Rambo III” Amerika Serikat, yang berhasil menumbangkan Najibullah dan mengusir “penjajah” Uni Sovyet.
Pasca tumbangnya Najibullah yang tidak lama diikuti pula dengan ambruknya Uni Sovyet, di Afghanistan terjadi perang saudara antarberbagai faksi politik di lingkup Mujahiddin Afghanistan. Perang saudara ini diperparah dengan lahirnya kelompok ekstrem yang kemudian dikenal dengan Thaliban. Konflik ini hingga sekarang masih berlangsung.
Dengan kondisi negara yang seperti ini, maka “keberanian” Presiden Jokowi mengadakan lawatan ke Afghanistan patut mendapat apresiasi.
Kedua, statement Presiden Jokowi terkait kunjungannya ke Afghanistan. Jokowi mengungkapkan bahwa alasannya untuk tetap menginjakkan kaki di Afghanistan tak lebih sebagai bentuk solidaritas untuk negara Muslim yang tengah mengalami konflik tersebut. Menurut Jokowi, umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik, perang dan terorisme.
Jokowi menyatakan bahwa datanya sangat memprihatinkan, di mana 76 persen serangan teroris terjadi di negara Muslim dan 60 persen konflik bersenjata di dunia terjadi di negara Muslim. Akibatnya, jutaan saudara-saudara kita harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Pernyataan Jokowi ini tidak usah dianggap sebagai bentuk pencitraan dan dalam upaya menarik simpati pemilih Muslim di Indonesia, terutama di kalangan Muslim yang oleh “kelompok bhinneka” sering disebutnya sebagai Muslim radikal.
Sebagai presiden yang masih mempunyai peluang untuk penggapai kursi presiden periode kedua tentu sah saja dalam kedinasannya sebagai presiden berbalut pencitraan, selagi itu dilakukan secara patut.
Saya menilai kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan sangat positif dan—sekali lagi—patut mendapat apresiasi secara tulus. Kalaulah dianggap sebagai bagian atau bentuk lain dari pencitraan, ini bentuk pencitraan yang patut dan elegant.
Hanya saja kunjungan kenegaraan yang apik ini justru sedikit tercoreng dengan “kesediaan” Jokowi untuk menjadi imam Shalat Dhuhur (setidaknya ini yang saya baca dari media). Saya tidak tahu apakah kesediaan menjadi imam salat, meskipun untuk sekadar imam shalat sir (bacaan imamnya pelan) itu menjadi bagian acara kenegaraan Presiden Jokowi atau tidak, namun justru soal imam salat inilah yang rasanya menjadikan citra yang tidak cukup sempurna.
Kalau merujuk pada standar fikih klasik bahwa seorang imam shalat itu harus mempunyai hapalan yang cukup dan bacaannya yang bagus sesuai kaidah tajwid. Yakinlah kalau merujuk pada salah satu saja persyaratan ini Presiden Jokowi tak memenuhi persyaratan.
Dalam konteks kesediaan menjadi imam shalat, meski hanya sekadar shalat sir seperti Dhuhur maupun Ashar inilah saya menilai Presiden Jokowi tidak proporsional. Tidak mampu menempatkan diri dengan baik.
Entah sudah berapa kali Presiden Jokowi “bersedia” menjadi imam shalat. Sedihnya setiap kali Presiden Jokowi menjadi imam salat selalu saja ditanggapi secara negatif oleh publik. Dan sikap publik ini tak bisa sepenuhnya dipersalahkan.
Publik, apalagi yang mengerti ilmu agama tentu sering mendengar dan mengetahui kalau Presiden Jokowi tidak cukup fasih dalam mengucapkan idiom-idiom Arab, seperti tergambar saat mengucapkan kalimat Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim.
Bahwa Presiden Jokowi jadi imam hsalat tak cukup proporsional, namun Presiden Jokowi tak pantas sepenuhnya dipersalahkan. Tim “sukses” Jokowi-lah yang patut disalahkan. Saya yakin di Tim “sukses” Jokowi sangat sadar bahwa secara fikih Jokowi belum pantas menjadi imam shalat, apalagi kalau di antara makmumnya banyak terdapat orang jauh lebih pantas menjadi imam.
Pertanyaannya, kalau sudah tah.u bahwa Jokowi belum pantas menjadi imam shalat tapi mengapa tetap dipaksakan jadi imam? Maka jawabnya seperti yang sering kita dengar dari publik, yaitu tak lebih hanya untuk pencitraan.
Penilaian publik ini tak sepenuhnya salah kalau menilik kapasitas diri Presiden Jokowi yang tak cakap dalam hal pengetahuan dan kemampuan fikih ibadah. Andai Jokowi mempunyai kemampuan baca Alquran, yakinlah publik pasti tidak akan mencibir. Yang ada justru kebanggaan.
Kalaulah benar menjadi imam shalat merupakan bagian dari strategi pencitraan, rasanya ini bentuk pencitraan yang bodoh, tak patut dan jauh dari elegant. Dan kebodohan inilah yang dipertontonkan di Afghanistan.
Andaikan kunjungan ke Afghanistan tidak dicoreng dengam “bersedia” menjadi imam, rasanya kunjungan ini menjadi bagian dari pencitraan yang sempurna dan elegant. Patut mendapat apresiasi yang luar biasa.
Kasus “imam shalat” ini tak boleh terulang dan dilakukan lagu oleh Jokowi. Percayalah, kalau Jokowi masih ingin terpilih kembali untuk periode keduanya, Tim “sukses” Jokowi tak boleh melakukan pencitraan-pencitraan yang bodoh seperi menjadi imam shalat.
Kasus “imam salat” ini juga harus jadi pembelajaran bagi para kandidat yang akan maju pada pilkada serentak 2018. Kalau memang tak atau belum pantas jadi imam shalat dan apalagi tak biasa shalat, tak usah bersikap bodoh dengan bersedia menjadi imam, meski hanya untuk imam shalat sir. [*]
Bekasi, 1 Februari 2018
*) Ma’mun Murod Al-Barbasy adalah Guru Ilmu Politik FISIP UMJ
Discussion about this post