PWMU.CO – Media cetak besar di Jawa Timur hari Kamis (8/2/18) menayangkan headline Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengkritik kualitas pendidikan Indonesia yang masih berada di papan bawah. Sementara anggaran sektor pendidikan dalam APBN termasuk yang terbesar daripada sektor lain. Anggaran ini untuk 2018 dikalahkan besarnya hanya oleh sektor pertahanan.
Tulisan pendek ini berusaha mendudukkan persoalan pendidikan pada tempat yang semestinya. Yang harus diingat bahwa yang dimaksud dengan “pendidikan” dalam komentar JK adalah persekolahan, schooling. Padahal pendidikan bukan sekadar persekolahan.
Mantan rektor ITB Kusmayanto Kadiman menunjukkan ranking PISA (ini mengukur kemampuan membaca, sains, dan matematika pelajar) pelajar Indonesia berada di urutan 62 dari 67 negara. Di papan bawah.
Itu dapat dijelaskan dengan alasan: pertama, bisa dipahami jika JK mengeluh soal persekolahan. Sebagai pengusaha-politikus, bagi JK persekolahan adalah instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga trampil yang akan dipekerjakan di pabrik-pabrik. Tidak kurang tidak lebih.
Ini berarti jenis industri di Indonesia tidak akan mampu naik ke industri dengan teknologi tinggi yang memerlukan tenaga trampil dengan kompetensi yang makin tinggi dan kompleks.
Kedua, perankingan semacam PISA ini hanya alat agar kita tetap lestari merasa rendah diri. Membandingkan Indonesia (dengan bentang alam seluas Eropa) dengan Singapura atau Korea Selatan tentu tidak adil jika tidak menyesatkan. Lebih adil jika membandingkan Singapura dengan DKI Jakarta, walaupun Singapura mungkin akan tetap unggul.
Di samping itu, obsesi mutu ini justru telah menjerumuskan sistem pendidikan nasional kita yang makin tidak relevan dengan kebutuhan bangsa ini. Kebutuhan Singapura atau Inggris jelas berbeda dengan kita. Jika pendidikan harus bermakna dan mencerdaskan, maka pendidikan sebenarnya bukan soal mutu tapi lebih soal relevansi.
Pendekatan industri telah membawa mantra mutu ke dalam Sisdiknas sehingga praktis menyingkirkan relevansi. Makin internasional standar yang dipakai berarti makin mengasingkan warga belajar dari lingkungan terdekat mereka sendiri. Murid mungkin belajar banyak hal, kecuali menjadi diri mereka sendiri.
Ketiga, jika perankingan PISA itu dibandingkan juga dengan tingkat konsumsi energi perkapita, kita akan memperoleh gambaran realita yang berbeda. Negara dengan skor PISA yang tinggi juga sangat tergantung pada teknologi dengan persyaratan pasokan tinggi energi. Konsumsi energi perkapita Singapura setara dengan Jepang sekitar 5.000 liter setara minyak per tahun. Ini setara dengan Jepang. Sementara itu konsumsi energi perkapita Indonesia hanya 700 liter setara minyak pertahun. Jadi hanya sekitar 15 persen Singapura. Kita tahu bahwa makin tinggi konsumsi energi berarti makin merusak lingkungan, membawa jejak karbon yang makin hitam.
Dari wacana ini, harus disadari bahwa persekolahan adalah instrumen teknokratis pembentukan masyarakat konsumen dengan konsumsi energi yang makin tinggi. Jadi, prestasi PISA yang masih di papan bawah itu sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan kita terbukti lebih relevan dengan agenda perubahan iklim walaupun mungkin tidak bermutu.
So, never mind quality, Sir! (*)
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya