PWMU.CO – Pada 31 Juli 2013 silam, saya pernah menulis di Harian Umum Jawa Pos menyoal kinerja Detasemen Khusus 88 Antiteror. Berjudul “Salah Tangkap, Salah Mayat?”, saya ingin mengatakan bahwa korp ini memang harus segera berbenah agar idiom “salah tangkap” tidak makin popular di masyarakat. Terlebih dalam kasus terorisme.
Tulisan “Salah Tangkap Salah Mayat?” itu jauh hari sebelum kasus Siyono, terduga teroris yang ditangkap Densus 88 pada Maret 2016 di Klaten. Apalagi kasus penangkapan MJ yang baru terjadi pada 7 Februari kemarin di Indramayu. Keadaan Siyono dan MJ saat ditangkap Densus 88 hampir serupa, dalam keadaan hidup dan sehat-sehat, tapi “dikembalikan”dalam keadaan tidak bernyawa.
Istilah “salah tangkap” yang saya jadikan judul itu memang berangkat dari fakta, bahkan sangat nyata. Saat itu, ada dua orang yang ditangkap Densus 88, Mugi Hartanto dan Sapari. Namun, keduanya akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam tindak terorisme (28/7/13). Padahal saat penangkapan, aparat begitu yakin akan keterlibatan dua korban salah tangkap itu.
Bahkan, luar biasanya, aparat juga mampu menyebut peran keduanya secara mendetail dan meyakinkan, hingga durasi waktu dan tempat yang pernah disinggahinya, (Jawa Pos, 24/7). Hampir tidak ada ruang yang terbuka bagi kedua terduga ini untuk lolos, karena perilakunya terpantau secara jelas dan detail. Namun, tidak sampai sepekan, ternyata “fakta” yang dimiliki Densus itu ternyata “hoax”.
Kesalahtangkapan ini kontan menimbulkan “desas-desus”, jangan-jangan di antara terduga teroris yang tewas ditembak itu juga salah tembak, salah mayat. Apalagi saat penangkapan Mugi dan Sapari itu—yang akhirnya tidak terbukti terlibat— ternyata ada 2 terduga lainnya yang langsung tewas—yang tentu saja tidak akan bisa membela diri lagi. Karena itu, ada teman yang berkelakar, seandainya ada “Nabi Musa” baru, tentu mayat-mayat tersebut bisa diinterogasi untuk menemukan kebenaran: mereka tergolong salah mayat atau tidak.
Salah tangkap terduga terorisme sebenarnya bukan hal baru karena memang beberapa kali terbukti dan meninggalkan saksi hidup. Namun, untuk terduga tewas terorisme, memang tidak pernah bisa diungkap “kebenarannya” karena mayat memang tidak bisa bicara. Siyono dan MJ merupakan dua contoh kecil dari “mayat” yang tidak bisa menceritakan kronologi apa yang dialaminya selama diciduk aparat.
Untuk korban tewas dalam kasus terorisme, selama ini publik harus menerima statemen polisi sebagai fakta. Sebab, fakta yang terjadi memang lebih sering dikonstruksi lewat satu pintu tersebut. Terlepas apakah fakta versi polisi adalah fakta “sungguhan” atau “buatan”, yang jelas informasi kasus ini memang seringkali monopoli kepolisian.
Apakah semuanya benar, tentu jawabnya bisa saja benar, tapi juga bisa saja tidak benar. Ini bergantung pada kerasionalan konstruksi kasus yang dibangun. Toh, polisi juga bukan malaikat yang tidak pernah salah, dengan bukti sering tersandung “salah tangkap” dalam kasus lain.
Satu hal yang jelas, ketika seseorang telah ditangkap Densus 88—meski kadang kemudian tidak terbukti—-citra sebagai teroris terbangun dengan sendirinya. Sebab, kehebohan pemberitaan penggerebekan dan penangkapan terduga teroris yang terus diulangi membuat publik bepersepsi bahwa siapa pun yang ditembak ataupun ditangkap dalam operasi tersebut adalah teroris. Apalagi saat penggerebekan, ternyata “hampir” selalu ada kamera yang mengabadikannya.
Terdapat hukuman sosial bahwa seseorang yang berstatus “terduga” sudah pasti dianggap teroris. Hampir tidak ada pemberitaan sepadan, apalagi sama hebohnya, ketika terjadi salah tangkap sebagaimana saat penangkapan. Jangankan publikasi yang meriah, bahkan permintaan maaf secara lisan sebagai empati paling ringan pun acap kali tidak terucap.
Bahkan, yang lebih unik lagi, dalam kasus terbaru MJ ini, Divisi Humas Polri pun belum bisa memastikan penyebab kematiannya. Meski sudah berjarak 3 hari setelah “pengembalian” mayat. Sebagaimana dilansir kompas.com, pada 13 Februari Kepala Divisi Humas Polri Irjen baru “mendengar” ada penangkapan kemudian meninggal, tapi belum mengkonfirmasi penyebab kematiannya.
Padahal jenazah MJ telah dimakamkan tiga hari sebelumnya dimakamkan di Kapuran, Kota Agung, Lampung. Jenazahnya tiba di rumah duka pada Sabtu (10/2/2018) sekitar pukul 05.00 wib yang langsung dishalatkan di masjid sekitar dan dimakamkan.
Sudah lebih dari 72 jam berlalu, ternyata belum belum menyetahui penyebab kematian orang yang dibawanya: karena kekerasan selama pemeriksaan atau penyebab lain. Allah a’lam bi al-Shawab. (*)
Kolom oleh Muh Kholid AS, alumnus Pesantren Ngruki Surakarta.