PWMU.CO-Di tengah arus kuat kelompok Islam bersikap oposan terhadap pemerintah, Wakil Ketua PWM Jawa Timur Nadjib Hamid MSi memberikan pertimbangan agar umat Islam sebaiknya mendekat penguasa. Sebab sudah terbukti dekat penguasa lebih gampang memengaruhi kebijakan dibandingkan sebagai oposan yang justru diabaikan meskipun bersuara keras ke mana-mana.
Pandangan itu disampaikan Nadjib Hamid dalam Dialog Ideologi Politik dan Organisasi (Ideopolitor) di Gedung Dakwah Muhammadiyah Kabupaten Kediri, Ahad (18/2/2018). Acara ini dihadiri ratusan kader Muhammadiyah wilayah itu.
Berita terkait: Politisi ‘Mualaf’ Itu Suka Bertengkar seperti Cerita Tom and Jerry
Nadjib bercerita peristiwa yang luput dari sorotan orang bahwa karena dekat dengan penguasa cukup dengan jawilan sambil berbisik kepada Kapolri sebuah polemik dapat diselesaikan. ”Waktu lagi ramai isu Ustadz Bachtiar Nasir dituduh ISIS, Pak Din (Prof Din Syamsuddin) karena dekat terus njawil Kapolri, itu bagaimana Bachtiar Nasir?,” tanya Pak Din seperti dituturkan Nadjib.
”Ndak ada. Itu pertanyaan dari anggota DPR,” jawab Kapolri.
”Kalau begitu klarifikasi, dong,” kata Pak Din lagi. Setelah itu polemik Bachtiar Nasir mereda.
Kekuatan memengaruhi kekuasaan, sambung Nadjib, begitu mudahnya kalau dekat sumber pembuat kebijakan. ”Hanya dengan cara begitu saja, dampaknya sudah luar biasa,” kata Nadjib yang pernah menjabat komisioner KPUD Jawa Timur.
Sebaliknya kalau mengambil posisi sebagai oposan terus, malah menghambat dakwah sebab Muhammadiyah tidak lepas dari kebijakan pemerintah. Contoh lagi, kata Nadjib, sewaktu Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya dijabat Zainuddin Maliki pernah mengajukan Fakultas Kedokteran selama tujuh tahun tapi ditolak dengan alasan sudah dimoratorium.
Tapi kekuasaan bicara lain, sambung Nadjib, ketika ada perguruan tinggi lain yang mengajukan, moratorium dibuka sehari untuk mengabulkan permohonan dimaksud, kemudian ditutup lagi. ”Wong dia menterinya. Padahal universitas itu belum punya gedung, belum punya fakultas lain bisa buka Fakultas Kedokteran,” ceritanya. ”Pak Zainuddin teriak-teriak. Memangnya gue pikirin,” sambung Nadjib.
Nasib sama juga dialami SMP Muhammadiyah di Bojonegoro, ujar Nadjib memberi contoh lagi. Muridnya sudah hafal 20-25 juz, orangtua murid menginginkan nanti lulus diteruskan ke SMA Muhammadiyah agar hafalannya berkelanjutan. Maka diajukan SMA baru, jawaban pemerintah, pendirian SMA dimoratorium kecuali SMK.
Dari kasus-kasus ini, kata Nadjib, kepentingan mendekati pengambil kebijakan itu bukan berarti ngathok, tapi tetap proporsional sesuai dengan khittah politik Muhammadiyah. ”Politik Muhammadiyah adalah politik nilai. Sejauh kebijakan pemerintah membawa maslahah untuk umat, harus didukung, dan sebaliknya jika menimbulkan madlarat, ya harus ditolak,” kata Nadjib sembari memberi ilustrasi enaknya kalau dekat penguasa itu mau nyikut iso, mau ngrangkul yo iso.
Warga Muhammadiyah diminta jangan terprovokasi oleh para politisi yang selalu oposan terhadap lawan politiknya. ”Pak Zainuddin Maliki pernah bertanya ke Pak Amien (Amien Rais), apa Pak Amien pernah memperkirakan dengan amandemen UUD akibatnya seperti sekarang? Pak Amien tidak menjawab,” paparnya.
Belajar dari semua itu, Nadjib Hamid menyarankan, Muhammadiyah jangan terbawa arus partai ke arah oposan. Contohnya, amandemen UUD itu malah merusak. Sebelum UUD 1945 diamandemen, Muhammadiyah itu otomatis anggota MPR melalui utusan daerah. Dengan amandemen, semua legislatif, baik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus melalui pemilu.
”Muhammadiyah memang bisa menjadi anggota DPD, tapi tidak mudah karena harus ikut Pemilu dengan daerah pemilihan (Dapil) se-provinsi,” tuturnya. (Dahlansae)