PWMU.CO – Anda pernah membaca buku “Tasawuf Modern” tulisan Buya Hamka? Dari banyak buku yang beliau tulis, buku ini punya tempat tersendiri di hati Hamka. Buku ini laris seperti karya Hamka yang lain. Tahun 1980 sudah cetak ulang ke-17.
Tetapi bukan soal cetak ulang itu yang membuat Hamka terkesan. Banyak pembaca mengaku hidupnya “terselamatkan” lewat buku ini. Suami istri mengaku kebahagiannya terpatri setelah membaca buku ini. Seorang dokter menganjurkan para pasiennya membaca buku ini agar jiwanya tentram dan lekas sembuh. Dan buku ini mempunyai tempat khusus di hati Hamka karena beliau sendiri terselamatkan ketika hendak bunuh diri.
Hamka pernah akan bunuh diri? Ya, benar! “Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat untuk anak-anak di rumah”, kata Hamka dalam pengantar pada cetakan ke-12 tahun 1970.
Saya tidak akan mengulas isi buku karena tidak sedang membuat resensi. Saya hanya ingin mengambil pelajaran dari sekelumit perjalanan hidup seorang Hamka, sastrawan, ulama besar, dan tokoh Muhammadiyah. Bahwa gelombang hidup yang dahsyat bisa datang dengan tiba-tiba dan menggoncang Hamka bahkan bisa membuat perahu kehidupannya hampir karam.
Hanya kesadaran yang dilandasi iman yang bisa menyelamatkan.
Senin siang 12 Ramadhan 1385 atau 27 Januari 1964 ketika orang-orang komunis di atas angin, Hamka diambil petugas dari rumahnya dan dijadikan tahanan politik.
(Baca juga: Pak Dirman HW Tulen dan Prof Rasjidi dan Remas)
Pagi dan petang, siang dan malam dilakukan pemeriksaan tanpa henti kecuali saat makan dan salat. Hamka dituduh kontra-revolusi, bekerja sama dengan Malaysia melawan pemerintah. Itu fitnah orang-orang PKI. Tentu Hamka menolak atas apa yang tidak dilakukan. Namun tetap dipaksa mengaku. Akhirnya seorang pemeriksa mengatakan, “Saudara penghianat! Menjual negara ke Malaysia,” bentak orang itu.
Hamka terperangah mendengar kalimat itu. Tubuhnya gemetar menahan marah. Sebagai seorang pejuang, seorang ulama, tokoh Muhammadiyah ia marah dituduh berkhianat dan menjual negara. Hamka hendak menerkam mereka. Namun ketika akan menerjang, segera sadar kedua petugas itu membawa pistol. Pasti mereka menembak kemudian dikarang cerita bahwa Hamka melawan petugas karena malu setelah terbukti secara kuat sebagai pengkhianat dan penjual negara. Hamka segera urungkan niat menerjang itu.
“Janganlah saya disiksa seperti ini. Bikinlah pengakuan apa saja nanti akan saya tandatangani. Tapi jangan saudara ulangi ucapan tadi,” kata Hamka sambil menangis. “Saudara memang pengkhianat!” kata mereka sambil menghempaskan pintu dan pergi.
Di selnya yang sepi, Hamka putus asa. Ia ingat masih punya silet. Terjadi peperangan batin antara bunuh diri mengiris urat nadi atau tidak. Hati sudah gelap. Surat wasiat pun sudah dibuat. Namun akhirnya iman mengalahkan godaan setan. Hamka kemudian minta dikirimi buku “Tasawuf Modern” yang ditulisnya tahun 1939. Dibacanya tulisannya sendiri, yang banyak menyelamatkan orang lain. Kini Hamka sedang “menasehati” Hamka. Itulah hari-hari sangat kritis yang dilalui tokoh Muhammadiyah ini.
***
Marilah kita lihat langkah Hamka selanjutnya ketika saat-saat kritis itu berlalu. Dia bertekad mengubah keadaan gelap gulita menjadi cerah bagi dirinya bahkan mencerahkan bagi orang lain. Setelah menyadari posisinya sebagai tahanan politik yang akan meringkuk di penjara entah sampai kapan, Hamka tidak menghiba-hiba menangisi keadaan.
Ia justru berfikir mengubah keadaan dari orang yang dikerangkeng menjadi orang bebas. Penguasa dhalim boleh memberangus fisiknya, mengurung di balik jeruji besi. Tetapi hati dan fikiran Hamka tidak bisa dikurung, tetap bebas merdeka.
Selalu ada celah berupa hikmah di balik musibah. Tuhan akan menunjukkan hikmah itu bagi orang yang sungguh-sungguh mencarinya.
Hikmah apa yang ditemukan Hamka? Dahulu ketika bebas, waktu luang adalah sesuatu sangat mahal yang sulit dimiliki karena kesibukan yang padat. Sekarang dalam tahanan waktu luang itu melimpah. Inilah kesempatan mewujudkan cita-cita yang sudah lama diimpikan tetapi selalu gagal, yaitu menulis sebuah tafsir Alquran yang “lengkap”, bukan sekadar terjemahan.
Dulu sebelum ditahan sudah dicoba. Berhitung bulan dan tahun, hasilnya sedikit karena sempitnya waktu. Kini di dalam tahanan Hamka bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya menulis tafsir itu. Tidak lagi diganggu undangan ceramah dan kesibukan lain.
Jika di alam bebas setahun tidak bisa menyelesaikan satu juz, maka dalam tahanan 30 juz itu selesai kurang dari dua tahun. Maka dari balik jeruji besi ini lahirlah tafsir “Al- Azhar” yang monumental itu. Inilah hikmah besar yang diperoleh Hamka dari balik penjara. Inilah pelajaran berharga yang kita teladani dari Buya Hamka. (*)
Tulisan Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini, selengkapnya bisa dibaca dalam buku Anekdot Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, terbitan Hikmah Press, Surabaya.