PWMU.CO – Beberapa waktu yang lalu ada beberapa warga di amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang melaksanakan shalat ghaib (ash-shalah ala al-ghaib) terkait dengan meninggalnya seseorang. Terkait dengan kejadian itu, banyak warga yang menanyakan tentang amalan itu. Sebenarnya bagaimana status hukum shalat ghaib, masyru’iyyah atau tidak? Ia dilaksanakan secara mutlak atau dalam keadaan tertentu.
Untuk menjelaskan masalah itu, berikut Redaksi PWMU.CO menurunkan tulisan lengkap shalat ghaib itu. Ditulis oleh Wakil Ketua PW Muhammadiyah pakar Ilmu Hadits, DR Syamsuddin, berikut adalah 4 pendapat yang muncul dari Shalat Ghaib. Selamat membaca!
***
Shalat ghaib adalah pengganti shalat jenazah. Dilakukan oleh kaum muslimin untuk jenazah saudara seagama yang jenazahnya tidak ada di depan mereka. Landasan dalil dari shalat ghaib ini adalah hadits Nabi saw yang diriwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah ra sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin al Musayyab dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw, mengumumkan kematian an-Najasyi pada hari kematiannya kemudian Beliau keluar menuju tempat shalat lalu Beliau membariskan shaf kemudian takbir empat kali. (HR, al-Bukhari no. 1168)
Para fuqaha’ (ahli fiqih) sepakat atas keabsahan dalil yang menjadi landasan dari praktik shalat ghaib ini. Namun mereka berbeda pendapat mengenai masyru’iyyah-nya, apakah ia disyariatkan kepada umat ataukah tidak.
Dalam hal ini ada empat macam pendapat. Pertama, tidak disyariatkan secara mutlak, disyariatkan secara mutlak, disyariatkan secara khusus hanya untuk jenazah yang sifatnya seperti an-Najasyi –dalam pengertian orang shalih dan berjasa kepada agama Islam–, dan disyariatkan secara khusus untuk jenazah yang sifatnya seperti an-Najasyi dalam pengertian tidak ada seorangpun yang menshalati jenazahnya.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas berpendapat tidak disyariatkannya shalat ghaib secara mutlak. Adapun yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw kepada an-Najasyi, adalah kekhususan bagi beliau yang tidak boleh diikuti oleh umat. Indikator khususiyyah-nya adalah tidak adanya riwayat shalat ghaib yang dilakukan oleh nabi saw, kepada seorangpun selain kepada an-Najasyi.
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat lain. Menurut keduanya, shalat ghaib disyariatkan secara mutlak. Namun khusus Ahmad bin Hanbal, ada juga riwayat yang dinisbatkan kepadanya bahwa pensyariatan ini bersifat khusus. Yaitu hanya kepada jenazah yang mempunyai sifat seperti jenazahnya an-Najasyi, yaitu seorang yang salih dan berjasa kepada Islam.
Ibnu Taimiyah sepakat dengan pensyariatannya kepada jenazah yang memiliki sifat seperti jenazahnya an-Najasyi. Namun, dalam pengertian jenazah tersebut adalah muslim yang tidak dishalati oleh seorangpun. (Taudhih al-Ahkam, III/219).
Menurut pendapat yang kedua ini, pendapat yang menyatakan shalat ghaib merupakan kekhususan bagi Nabi saw dianggap relatif lemah, karena pengkhususan itu harus didukung oleh dalil. Faktanya tidak ada dalil yang menyatakan hal tersebut. Hukum asal semua amalan Nabi saw, adalah juga untuk umat beliau, dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali dengan dalil yang kuat lagi meyakinkan. Karena tidak ditemukan dalil pengkhususan, maka alasan semacam ini dianggap sebagai alasan yang masih muhtamal (mengandung serba kemungkinan).
Disamping itu, menurut pendapat ini, telah tegas dalam riwayat tentang shalat ghaib atas an-Najasyi bahwa Rasulullah pernah pergi bersama sejumlah orang ke tempat shalat, lalu beliau membuat barisan bersama mereka, lalu mereka pun shalat bersama beliau, dengan demikian dapat diketahui bahwa shalat yang beliau lakukan juga berlaku untuk umatnya.
Meski demikian, pendapat yang mensyariatkan shalat ghaib secara mutlak, yakni untuk siapa saja tanpa terkecuali, terbantahkan dengan kenyataan bahwa Nabi saw tidak pernah melakukan shalat ghaib untuk selain an-Najasyi.
Sementara yang mengkhususkan pensyariatannya pada seorang yang shalih dan berjasa pada Islam juga lemah. Sebab, tidak ada riwayat shalat ghaib yang dilaksanakan oleh Nabi saw atas jenazah para sahabat yang wafat jauh dari beliau. Padahal para sahabat ini adalah orang-orang yang salih dan berjasa kepada Islam. Demikian pula para sahabat nabi yang tinggal di Madinah juga tidak melaksanakan shalat ghaib untuk sahabat-sahabat nabi yang meninggal dunia di luar Madinah.
Pendapat yang paling aman dari kritik dalam masalah ini adalah pendapat yang terakhir, yaitu bahwa shalat ghaib hanya disyariatkan pada jenazah muslim yang sifatnya seperti jenazah an-Najasyi dalam pengertian tidak ada seorangpun yang menshalati jenazahnya.
Pendapat yang dinisbatkan kepada Ibn Taimiyah ini juga dikuatkan oleh Ibn al-Qayyim, al-Khaththabi, dan juga yang diisyaratkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya ketika ia memberikan judul bab terhadap hadits Abu Hurairah di atas, bab shalat (ghaib) untuk jenazah muslim yang meninggal dunia di negeri-negeri musyrikin/bab fii ash-shalaah ‘ala al-muslim yamuutu fi bilaad asy-yirk.
Ahmad bin Muhammad al-Khattabiy (w.288 H), seorang muhaqqiq dari mazhab asy-Safi’i, di dalam kitab Ma’aalim as-Sunan yang merupakan syarah atas Sunan Abi Dawud , mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
قلت : النجاشي رجل مسلم قد آمن برسول الله صلى الله عليه وسلم وصدقه على نبوته إلا أنه كان يكتم إيمانه ، والمسلم إذا مات وجب على المسلمين أن يصلوا عليه إلاّ أنه كان بين ظهراني أهل الكفر ولم يكن بحضرته من يقوم بحقه في الصلاة عليه فلزم رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفعل ذلك إذ هو نبيه ووليه وأحق الناس به فهذا والله أعلم هو السبب الذي دعاه إلى الصلاة عليه بظهر الغيب ، فعلى هذا إذا مات المسلم ببلد من البلدان وقد قضى حقه في الصلاة عليه فإنه لا يصلي عليه من كان ببلد آخر غائبا عنه فإن علم أنه لم يصل عليه لعائق أو مانع عذر كانت السنة أن يصلى عليه ولا يترك ذلك لبعد المسافة فإذا صلوا عليه استقبلوا القبلة ولم يتوجهوا إلى بلد الميت إن كان في غير جهة القبلة.
Menurut hemat saya an-Najasyi adalah seorang muslim yang telah beriman kepada Rasulullah saw dan membenarkan kenabian beliau, hanya saja dia menyembunyikan keimanannya. Dan seorang muslim jika ia meninggal dunia, maka kaum muslimin berkewajiban untuk menshalatkannya, kecuali jika dia berada di tengah-tengah kaum kafir, sementara itu tidak ada seorangpun di sekelilingnya yang bersedia menshalatkannya. (dalam kondisi seperti itu) Rasulullah saw mengharuskan diri untuk mengerjakan shalat tersebut, karena beliau adalah nabi sekaligus walinya serta orang yang paling berhak atasnya. Mungkin inilah –wallahu a’lam- alasan yang mendorong Nabi saw untuk mengerjakan shalat jenazah dari kejauhan (shalat Ghaib).
Berdasarkan hal tersebut, maka jika ada seorang muslim meninggal dunia di sebuah negeri (wilayah), kemudian kewajiban shalat jenazah atasnya sudah ditunaikan, maka tidak perlu lagi orang lain yang berada di negeri (wilayah) lain untuk mengerjakan shalat ghaib untuknya. Dan jika dia mengetahui bahwa yang meninggal dunia tersebut tidak dishalatkan karena adanya rintangan atau sebab lain yang menghalanginya, maka disunnahkan untuk menshalatkannya dan hal itu tidak boleh ditinggalkan hanya karena jaraknya yang jauh. Dan jika mengerjakan shalat atas jenazahnya, maka mereka harus menghadap kiblat, dalam arti tidak perlu menghadap ke arah negeri di mana jenazah tersebut berada, manakala negeri tersebut terletak tidak searah dengan kiblat. (Ma’alim as-Sunan, I/310).
Demikian, Allahu a’lam bi al-shawab.
***
Terkait dengan masalah “kematian” ini juga terdapat masalah terkait lain yang seringkali disalahfahami. Berikut terdapat beberapa link sebagai penjelasan: Ziarah Kubur Versi Muhammadiyah yang Sering Disalahpahami dan Sunnah atau Mubah: Bagaimana Sebenarnya Cara Menyimpulkan Hukum Ziarah Kubur?. Juga ada beberapa masalah lainnya: Kenali 3 Jenis Ziarah Kubur agar Tak Salah Kaprah dan Bagaimana Hukum Bercadar Menurut Muhammadiyah?, serta Status Hukum Tarjih Bukan Halal atau Haram Mutlak.