PWMU.CO – Berbeda dengan bincang-bincang biasa, diskusi mengandung pemikiran yang melibatkan argumen-argumen rasional untuk menyampaikan sebuah pemikiran.
Seperti diskusi yang terjadi di Gresiknesia Sub Terminal Gresik Kota Baru (GKB) Jalan Sumatera Nomor 10 Gresik, Sabtu (3/3/18).
Diskusi yang memaparkan bagaimana perempuan pesisir memaknai kehidupan sosial budayanya ini dibahas dalam tema “Representasi Perempuan Gresik dalam Goresan Lukisan Damar Kurung Masmundari”.
Turut hadir dalam acara tersebut Komunitas Pemerhati Budaya di Gresik, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Universitas International Semen Indonesia (UISI), Universitas Kristen Petra, Universitas Ciputra, dan juga LSM Pemberdayaan Perempuan.
Tak tanggung-tanggung, diskusi ini menghadirkan tiga pembicara yang sangat kompeten di bidangnya.
Pembicara pertama Abigail Aniendya Christianna, seorang peneliti dan dosen jurusan Desain Komunikasi Visual dari Universitas Kristen Petra Surabaya yang ingin menggali lebih dalam identitas dan peran perempuan dalam pusaran sosial kesatuan masyarakat di Jawa, khususnya di Jota Gresik.
Dewi Musdalifah sebagai pembicara kedua adalah anggota Lembaga Kebudayaan Pimpinan Daerah Aisyiah Kabupaten Gresik yang konsen pada persoalan-persoalan kebudayaan, terutama kebudayaan di Kota Gresik.
Pembicara ketiga Irni Resmi Apriyanti, seorang peneliti, dosen, dan juga desainer asal Bandung yang memilih medan eksplorasi melalui Studio Koencoret. Saat ini ia menjadi salah satu pengajar di UISI.
Yang menarik dari diskusi malam itu adalah pemaparan Dewi—sapaan akrab Dewi Musdalifah—yang mengupas sisi pencipta damar kurung Masmundari. Dewi memaparkan bagaimana seniman Gresik memaknai kehadiran Masmundari sebagai icon yang luar biasa.
Berangkat dari komunitas seni, Cager, yang pada tahun 1990-1992 merasa tergerak untuk melestarikan lukisan Masmundari. “Pada saat itu kami mengadakan lomba membuat damar kurung,” ujarnya.
Dewi menjelaskan, awalnya Masmundari tidak tertarik melukis. Pada saat itu ayahnya meminta Masmundari menekuni melukis damar kurung karena kelak akan bermanfaat untuk hidupnya. Ternyata nasehat itu benar, setelah berpisah dengan suaminya, Masmundarilah yang menghidupi keluarganya dari lukisan damar kurungnya itu.
“Pada mulanya lukisan yang semua digambar sama dijual di Tlogo Pojok. Pembeli paling ramai saat bulan Ramadhan. Karena semakin banyak pesanan dan sudah banyak yang meniru lukisannya, akhirnya muncullah darah seni yang mulai bergejolak dalam diri Masmundari untuk melukis dengan gambar yang berbeda,” paparnya.
Dari gambar yang dihasilkan Masmundari, lanjutnya, terlihat betapa perempuan pesisir zaman dulu mengalami pergulatan yang luar biasa dari perannya sebagai masyarakat sosial dan budaya.
“Tidak pernah ada kedukaan dalam lukisannya, yang terlihat hanya keceriaan. Berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Masmundari saat itu,” tambahnya.
Kepada PWMU.CO, Muhammad Choiruz Zimam, salah satu peserta yang datang pada malam itu mengaku senang mengikuti diskusi ini. “Ruang diskusi terbuka seperti ini sangat langka di temukan di Gresik, apalagi bagi perempuan yang bercerita tentang sosial budaya di sekitarnya, sehingga diskusi malam ini sangat menarik,” ungkapnya.
Di akhir sesi, Dewi membacakan puisinya di depan peserta.
Kalau mudik berarti pulang, maka aku tak punya kampung halaman.
Tak lagi kucicipi asin air laut dan ikan panggang, karena bistik daging tersedia di meja makan.
Samudraku sekarang bukan laut, tapi aspal bergelombang.
Anginku bukan angin pantai, tapi semilir amoniak dari kretek raksasa.
Bersahabat dengan wajah kosong dan bergiat dalam lumbung kemarau.
Mari kita nikmati sisa rindu pada pelabuhan.
Berhias langit biru saat bintang tak lagi hilang di telan asap kelabu.
Dan manuver burung camar yang berputar putar, menukik menyambar ikan di permukaan riak air.
Sepersekian jam memberi salam, kemudian melanjutkan perjalanan. (Anik/AK)