PWMU.CO – “Purun lan wantun ngadhepi gebyaring kahanan.” Kalimat yang mengandung arti ‘mau dan berani menghadapi keadaan yang terjadi’ ini adalah tips menjadi dalang muda berbakat yang diungkapkan oleh Ki Agung Sudarwanto.
Dalam percakapan usai pembukaan “Workshop Bantuan Pemerintah Fasilitasi Sarana Kesenian Satuan Pendidikan Tahun 2018” di Hotel Golden Boutique, Jakarta, Kamis (8/3/18), dalang bernama asli Agung Sudarwanto SSn MSn ini mengungkapkan jalan hidup di dunia seni tersebut.
Selain tercatat sebagai guru di Sekolah Pendidikan Karakter Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) SD Muhammadiyah (SDM) 1 Ketelan, Surakarta, Jawa Tengah, dia juga aktif mengelola Lembaga Pendidikan Sanggit Art Surakarta.
Pria kelahiran Desa Kauman, Nganjuk Jawa Timur pada 4 Agustus 1979 ini mengaku mulai mendalang sejak kelas lima SD tahun 1990. “Saat itu bertepatan dengan hari Persatuan Dalang Indonesia (Pepadi) di Pendapa Kabupaten Nganjuk. Dalam pentas keliling Jawa Pos itu, saya sebatas ‘mucuki’ Ki Manteb Soedharsono tanggal 2 Agustus 1990,” ujar Agung, panggilan akrabnya.
Dia menjelaskan, mucuki adalah pergelaran ekstra (berupa fragmen) sebelum pergelaran wayang kulit inti dilakukan. “Mucuki pada umumnya dilakukan oleh anak dalang dan cantrik yaitu murid dalang tersebut. Saat itu saya bukan anak seorang Dalang, tapi diberi kepercayaan untuk mucuki Ki Manteb Soedharsono pada waktu pementasan di Nganjuk,” ungkap alumnus Program Studi Pengkajian Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2009 ini.
Sarjana Seni (SSn) lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta ini sering dipercaya menyusun naskah dan mengarahkan pementasan dalang China di Nganjuk, Surabaya, Semarang, dan Madura.
“Sewaktu kecil, saya pernah diundang pentas di rumah Ki Manteb Soedharsono di Karangpandan dan Ki Anom Suroto. Pada tahun 1991, saya di tunjuk TVRI Surabaya untuk siaran dengan lakon Babad Alas Mrentani. Lalu pentas di RRI Semarang dan di Sragen dengan arahan almarhum Ki Prenggo Darsono dan almarhum Ki Gondo Darman,” ucapnya.
Agung melanjutkan, berkat arahan dalang-dalang senior itu, tahun 1992, saat dia duduk di bangku SD kelas 6, dia mampu menyajikan pakeliran semalam di Nganjuk, Kediri, Surabaya, Ngawi, Magetan, Madiun, dan sekitarnya.
“Saat remaja, tahun 1997, saya meraih Juara 1 Tembang Macapat Tingkat Provinsi. Lalu di Bidang Pedalangan, saya berhasil menyabet tiga piala yaitu predikat Penyaji Terbaik, Garap Iringan Terbaik, dan Sabet Terbaik,” papar Agung.
Kepada PWMU.CO, dia menceritakan, saat kuliah sering dilibatkan dalam pementasan pakeliran ringkas ataupun padat, Pakeliran Sandosa, Pakeliran Layar Panjang, dan Sajian Wayang Golek.
“Tahun 2004 hingga 2006, saya juga dipercaya oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bekerja sama dengan STSI dan The Ford Foundation sebagai tutor bidang Seni Pedalangan dalam program Pendidikan Apresiasi Seni (PAS),” jelasnya.
Tak berhenti di situ, Agung memaparkan pernah satu tim dengan Mujiono SKar membina dalang cilik dalam pentas atau festival dalang bocah tahun 2008. “Alhamdulillah, hasil dari binaan itu berhasil meraih Juara Favorit dalam Festival Dalang Cilik di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Juara I Festival Dalang Bocah di Surakarta, Juara I Festival Tembang Dolanan, dan Juara I Festival Dolanan Traditional di UNY,” terang Agung. (Jatmiko/TS)