PWMU.CO – Sebelum membaca tulisan ini, sebaiknya para pembaca PWMU.CO tulisan pengantar dalam bagian 1. Hal ini agar pembaca bisa memahami secara utuh maksud tulisan ini, tanpa penyederhanaan –yang terkadang menyesatkan. Pengantar yang dimaksud adalah link sebagai berikut: Zaman Jahiliyyah tapi Berkebajikan: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah sebelum Islam (1). Semoga tidak salah paham. Selamat membaca!
***
Dalam berbagai perjalanan sejarah manusia, senegatif apapun peran yang telah dimainkan, tentu tetap saja terdapat sisi positif yang bisa dijadikan ‘ibrah bagi masa kekinian. Sama halnya dengan sejarah manusia yang dipenuhi cerita positif, sudah pasti terselip sisi negatif. Begitu pula halnya masyarakat Mekkah sebelum Islam, selain mempunyai sisi negatif, tentu ada nilai positifnya yang bisa dijadikan bahan perenungan.
Di antara nilai-nilai kebajikan yang tetap relevan hingga kini diimplementasikan, tentu dengan pemaknaan yang berbeda. Nilai kebajikan masyarakat Mekkah zaman jahiliyyah di antaranya tentang keimanan masyarakat Jahiliyyah kepada Tuhan. Selama ini tidak sedikit umat muslim yang berpendapat masyarakat Mekkah sesaat sebelum kenabian Muhammad adalah penyembah berhala, bukan Tuhan pencipta alam semesta.
Anggapan penyembah berhala (paganisme) ini salah satunya muncul karena Ka’bah dikelilingi 360 berhala yang kemudian dihancurkan oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun 630 M saat terjadi “Fathul Makkah”. “Bahkan ada yang menyatakan bahwa masyarakat Quraisy saat itu tidak percaya kepada Tuhan,” tulis Guru Besar Sejarah Peradaban Islam dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Ali Mufrodi dalam “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”
Namun, jika merujuk kepada pada ayat-ayat Alquran, ternyata sangat jelas bahwa orang-orang Arab bukan tak percaya kepada Tuhan yang juga pemilik Ka’bah. Justru mereka sangat percaya tentang keberadaan “Tuhan”. Tak hanya dalam catatan sejarah, bahkan kepercayaan mereka kepada Tuhan ini direkam dalam Alquran. Tuhan yang mereka percaya adalah Tuhan yang diistilahkan dengan “pencipta langit dan bumi” (QS az-Zumar [39]: 38), serta “Tuhan pemilik Ka’bah” sebagaimana tercatat dalam surat Quraisy [106] ayat 3.
Hanya saja mereka memandang Allah sebagai Tuhan Tertinggi yang tidak langsung bisa digapai oleh manusia. Mereka menggap harus ada tuhan-tuhan kecil yang lebih rendah sebagai pendamping sekaligus perantara sebagaimana terekam dalam QS 29: 65 dan QS 39: 3. “Masyarakat Mekkah berkeyakinan bahwa untuk menuju Tuhan Yang Maha Besar ini harus ada washilah-nya,” jelas Jonathan P. Berkey dalam “Formation of Islam: Religion and Society in the Near East 600-1800”.
Tauhid “rubuubiyyah” ini juga dicatat oleh dua sahabat Nabi, ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abbas. Menurut dua tokoh ini, masyarakat jahiliyyah sebenarnya mengetahui bahwa Allah-lah Tuhan yang sesungguhnya. “Tapi mereka tetap menyekutukan-Nya dengan cara menyembah Allah melalui perantara,” tulis Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, dalam Tafsir al-Thabariy Juz 16.
Inti kepercayaan berhala sebagai perantara menuju Tuhan ini juga diungkap oleh Abu Sufyan bin Mu’awiyyah –sebelum memeluk Islam. Menanggapi kabar dari rahib tentang akan datangnya nabi, dia menuduh para rahib itu tidak mengerti soal agama sehingga membutuhkan Nabi. “Masyarakat Mekkah sudah mempunyai banyak berhala yang bisa mendekatkan mereka kepada Tuhan sehingga tidak memerlukan nabi,” kata Abu Sufyan sebagaimana dikutip oleh Muhammad Husain Haekal dalam “Sejarah Hidup Muhammad”.
Keyakinan masyarakat Mekkah pra-Islam ini juga dibenarkan oleh dua sejarahwan Martin Ling dan Marshall G.S. Hodgson. Termasuk dalam keyakinan mereka bahwa Allah juga mempunyai “anak” malaikat. “Mereka membuat berhala-berhala yang diakuinya sebagai malaikat yang berfungsi perantara penyembahan kepada Tuhan,” begitu tulis Manna’ Khalil al-Qathtan Tafsir al-Qaththan Juz 1.
Masyarakat Mekkah sebelum Muhammad juga telah mengenal Allah sebagai nama Tuhannya. Karena itu, ketika periode awal kenabian, al-Quran menyebut nama Tuhan dengan kata “rabbuka (Tuhanmu)”, bukan “Allah”. Dalam tiga wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, QS al-‘Alaq (1-5), QS al-Mudatstsir (1-10), dan QS al-Dluhaa (1-11), kata rabbak dan yang semakna terdapat 7 buah. Yaitu masing-masing dua dalam al-‘Alaq (1 dan 3) dan al-Mudaththir (3 dan 7), dan tiga dalam QS al-Dluhaa (3, 5, dan 11).
Alasan wahyu periode awal kenabian tidak menggunakan “Allah”, tapi “Tuhanmu”. Selanjutnya halaman 2