PWMU.CO – Hakikat politik adalah lobi dan komunikasi. Oleh karena itu dalam implementasinya harus cair, tidak perlu dibatasi oleh sekat partai atau golongan apa pun.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Nadjib Hamid pada Diskusi Publik dalam rangkaian acara Musyawarah Pimpinan Wilayah (Musypimwil) Aisyiyah Jawa Timur.
“Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan telah memberikan contoh nyata tentang hal tersebut,” tuturnya.
Dicontohkan, ketika Pak Kiai Dahlan awal mendirikan Muhammadiyah, beliau juga bergabung dengan Boedi Oetomo untuk belajar keorganisasian. Sehingga dokter Soetomo selaku pendiri Boedi Oetomo pun bersedia bergabung dengan Ormas Islam bersimbol matahari ini, bahkan memimpin amal usaha kesehatan (klinik) Muhammadiyah di Surabaya, yang kini berkembang menjadi RSM Mas Mansyur Surabaya.
Dalam sejarah juga disebutkan, beliau kerap mengundang tokoh PKI untuk mengisi kegiatan di Muhammadiyah. “Ketika ditegur oleh kawan seperjuangannya, beliau hanya bilang: ambillah yang baik darinya,” ungkapnya.
Dalam sejarah Muhammadiyah, Kiai Dahlan memang beberapa kali mengundang atau mempersilakan para tokoh Komunis untuk berpidato dalam acara Muhammadiyah maupun ortomnya. Seusai membentuk Aisyiyah, beliau mengundang tokoh komunis dari Kepanjen, Malang, Woro Sastroatmojo.
Dengan bersemangat, Woro dan satu rekannnya secara fasih menguraikan gerakan Sarekat Islam “Merah” dengan tegas dan lancar. “Bukan intisari pidatonya si pembicara, melainkan tegak-tegap sigap cakap-cukupnya wanita pembicara dan semangatnya,” tulis Kiai Syuja’, yang murid langsung Kiai Dahlan, tentang maksud mengundang tokoh komunis itu.
Tak lama berselang, Kiai Dahlan juga menerima permintaan 2 tokoh ISDV (PKI tempo dulu), Semaun dan Darsono, untuk berpidato di rapat terbuka Muhammadiyah. Berbeda dengan rapat Muhammadiyah yang biasanya diawali doa, kali ini langsung dengan ketukan palu sebagai tanda acara telah dibuka. “Semaun pidatonya menerangkan di sekitar sama rata sama rasa, yang di atas diturunkan, yang di bawah dijunjung,” cerita Syuja’.
Acara kemudian ditutup setelah 1 jam 45 menit, 2 tokoh komunis itu berpidato. “….ideologi ISDV remeh, yang kotor saja dapat laku dijual kepada manusia…. Apalagi agama Islam yang datang dari Allah dengan wahyu yang amat suci…” demikian ringkas Syuja’ tentang “mengambil” sisi positif dari pergaulan dengan tokoh PKI.
Berdasarkan sejarah itu, Nadjib mengimbau agar Aisyiyah rileks dalam menanggapi isu-isu politik, tidak tegang menanggapi perbedaan pandangan dan pilihan politik. Apalagi menganggap politik sebagai aqidah yang tidak bisa berubah. Mengingat, dalam praktiknya politik itu cair. Ditegaskan pula, politik tidak identik dengan partai politik.
Terkait lobi politik, dia memberikan kiat-kiat khusus agar aspirasi Aisyiyah bisa ditampung dalam kebijakan pemerintah daerah. Misalnya dengan mengawal mulai dari pelaksana di level paling bawah hingga pengambil kebijakan di level atas.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah misalnya, Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak perlu melakukan politik praktis dengan memberikan dukungan tertulis kepada salah satu pasangan calon (paslon). “Komunikasilah dengan semua paslon dengan cara yang makruf,” pungkasnya. (miftahul ilmi)