PWMU.CO – Menyebut nama Hebron, Palestina, rasanya tidak asing. Cobalah ketik pada mesin pencari tren Google menggunakan kata kunci Hebron. Akan terlihat pada bulan Januari dan Februari 2018, rasio ketertarikan grafiknya menyentuh angka 100. Pada pertengahan bulan Maret 2018 sedikit menurun. Berikut adalah catatan Arifin BH, konsultan media dan penulis buku.
Kota Hebron berjarak sekitar 30 kilometer arah selatan Jerusalem. Hebron merupakan salah satu pusat perdagangan. Susu, anggur, dan hasil perkebunan lainnya mendominasi pemandangan sehari-hari.
Hebron terletak di kawasan Tepi Barat Palestina yang dikuasai Israel dan komunitas Yahudi. Sejak pertama memasuki kota ini terlihat tembok mengelilingi sekaligus menutup pemukiman Palestina. Tembok beton membentang sejauh mata memandang.
Warga Palestina yang tinggal di sana berada dalam sebuah tekanan berat pihak Israel. Setiap hari Sabtu semua akses keluar-masuk tembok ditutup karena untuk peribadatan kaum Yahudi. Khusus turis harus bisa menunjukkan paspor dan visa.
Pengawasan ketat militer di kota ini merupakan salah satu simbol pendudukan Israel yang paling kejam. Padahal warga Palestina itu sudah cukup lama bermukim di sana.
Iyyat, pemandu perjalanan, menceritakan, terdapat lebih dari 200.000 masyarakat Palestina bermukim di Hebron. Warga Yahudi hanya ratusan tetapi sangat menentukan. Berkali-kali Iyyat menyebut tindakan Israel merebut tempat tinggal warga Palestina di Hebron, sebagai perbuatan “copet.”
Israel menilai Hebron sangat penting. Di kota tua tersebut terdapat situs suci umat muslim masjid Ibrahim dan makam kuno Yahudi atau yang disebut pula Gua Para Leluhur. Isarel berusaha mati-matian menguasai.
Oleh karena itu betapa marah Israel ketika Badan Warisan Dunia PBB (UNESCO) –Juli 2017 lalu mengakui kota tua Hebron menjadi situs warisan dunia milik Palestina. Israel menentang keras resolusi dengan alasan menekankan karakter Islam dari kota itu dengan mengorbankan sejarah Yahudi di sana.
Hebron, menurut resolusi UNESCO merupakan kota tertua di dunia, yang berasal dari periode chalcolithic atau sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi. Kota ini sepanjang sejarahnya pernah diduduki oleh bangsa Romawi, Yahudi, dan Tentara Perang Salib.
Peribadatan Dua Umat
Dibanding tempat-tempat ziarah lainnya, Masjid Ibrahim terbilang paling ramai dikunjungi. Sebelumnya kami mengunjungi makam dan Masjid Nabi Yunus. Bangunan Masjid Nabi Yunus terbilang megah persis berseberangan dengan pemukiman warga Palestina. Berada di pinggir jalan Masjid Yunus tidak dijaga tentara. Arsitek Masjid Nabi Yunus sangat unik, seluruhnya terbuat dari batu bata seperti di Indonesia.
Patut diketahui bahwa Nabi Ibrahim merupakan seorang Nabi yang bergelar Abul Anbiya’ (Bapaknya para Nabi) sekaligus mendapat julukan sebagai Kholilullah (Kekasih Allah).Tentu saja ramai. Masjid Ibrahim menjadi pertemuan dua umat berbeda keyakinan dalam satu tempat ziarah.
Kanan dan kiri jalan menuju masjid yang berada di dalam gua merupakan lorong bebatuan. Terdapat pemukiman penduduk menempel dengan dinding batu. Beberapa rumah saya coba masuki rata-rata tempat usaha semacam home industri.
Dalam perjalanan menuju lokasi berjumpa dengan anak-anak Palestina pulang sekolah. Mereka dengan gembira menyapa kami. Rombongan Manaya Indonesia harus berhenti melayani sapaan anak-anak ini.
Kesempatan untuk minta diabadikan bersama pun tidak disia-siakan. Seorang jamah mencoba memberi komando. Lalu kami dan anak-anak secara bersama-sama meneriakkan yel, “Palestina, yes, yes, yes! Indonesia,yes, yes yes!.Palestine-Indonesia, yes, yes, yes!”Anak-anak Palestina di Hebron memang heboh!
Setiba di luar Masjid Ibrahim -sebagaimana biasa, tentara Israel terlihat berjaga. Beberapa orang bersenjata sniper, berada di bilik atas yang menempel tembok. Rombongan Manaya Indonesia, diminta menunjukkan paspor. Satu demi satu masuk melalui semacam kanopi. Semua harus melewati pintu putar otomatis.
Sebuah tanjakan lorong berbatu menyambut kami. Di atas lorong dipasangi kawat berduri mirip barikade penahan demontran. Persis di pintu masuk ada puluhan baju sebatas lutut warna biru tergantung. Bentuknya mirip seragam bezuk masuk ruang ICU. Di bagian kepala mengerucut. Baju-baju ini khusus disediakan bagi warga Yahudi yang akan berziarah. Mereka wajib memakai.
Bertepatan waktunya ashar, maka umat Islam masuk terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah sholat. Rombongan kami menjamak sholat duhur dan ashar. Di arena tempat sholat sajadah warna merah terhampar. Di arena shalat itu juga pada sisi kanan-kiri dan bawah menyatu bangunan makam.
Pertama makam Nabi Ibrahim. Kedua makam Nabi Iskak. Ketiga makam Nabi Yakub. Menyertai tiga nabi ini ada juga makam para istri masing-masing. Satu lagi berada di bawah, dan tidak bisa dikunjungi adalah tempat makam Nabi Yusuf. Semuanya berada dalam bangunan Masjid Ibrahim.
Sewaktu kami hendak menuju pintu keluar berpapasan dengan rombongan umat Yahudi. Sebelum masuk mereka wajib mengenakan seragam warna biru. Bagi yang tidak terbiasa terlihat lucu.
Lebih kurang satu jam rombongan mengeksplorasi sudut-sudut Masjid Ibrahim. Meskipun akses masuk-keluar dijaga ketat, kawan-kawan jamaah sudah mulai terbiasa.
Bus pengantar peziarah, baik umat Muslim atau umat Yahudi parkir di jalan raya. Antara jalan raya dengan Masjid Ibrahim berjarak sekitar 500 meter. Sekali lagi -harus, jalan kaki!.
Catatan perjalanan Arifin BH yang lain selama di Palestina juga bisa dibaca di: Selalu Ada Kejutan Menuju Palestina, Catatan Perjalanan dan Dihadang Tentara Israel karena Melipat Sajadah, Cerita dari Kunjungan di Al-Aqsa. (*)