PWMU.CO – Seorang muballigh mengeluhkan pelayanan panitia pengajian di salah satu daerah, lantaran dirinya diinapkan di rumah panitia, bukan di hotel. Panitia dianggap tidak profesional. “Muhammadiyah sebagai organisasi besar harus profesional,” protesnya.
Lebih lanjut ia mempertanyakan, “Muhammadiyah bisa membayar mahal narasumber dari luar, tapi mengapa selalu membayar murah pada narasumber internal?”
Tokoh ini mengira kemampuan Muhammadiyah sama di mana saja. Sehingga kerap menuntut standarisasi pelayanan prima. Ia sepertinya tidak faham kalau di level bawah kondisinya sangatlah beraneka ragam.
Sebaliknya, KH Ahmad Azhar Basyir. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1990-1995 itu, justru protes gara-gara ditidurkan di hotel usai pengajian di salah satu Ranting di Gresik.
“Mengapa saya diinapkan di hotel Surabaya, padahal besuk acaranya masih di Gresik? Apa sekarang sudah tidak ada warga Muhammadiyah yang rumahnya bersedia diinapi ketua PP?” tanya beliau dengan senyum, seperti ditulis dalam buku Anekdot Tokoh-Tokoh Muhammadiyah.
“Mohon maaf, niat kawan-kawan hanya berharap Bapak dapat beristirahat enak dan bebas,” jawab Pak Nur Cholis Huda, yang juga penulis buku dimaksud.
“Kalau ranting harus mengeluarkan biaya besar tiap kali pengajian, bisa mati pengajian di ranting. Padahal pengajian itu penting sekali, sebagai salah satu nafas kehidupan Persyarikatan,” kata Pak Azhar.
Dua tokoh beda cara dalam menyikapi pelayanan tuan rumah. Tokoh pertama, menerjemahkan profesional sebagai serba mahal dan glamour, sehingga terkesan elitis. Sedangkan yang kedua, lebih pada kedekatan hati bukan materi, yang mencerminkan kesederhanaan dan merakyat.
Dari sisi tuan rumah, substansinya sama, yaitu ingin menghormati tokoh yang diundang. Bedanya, pada implementasi. Ada yang menggunakan cara praktis, diinapkan di hotel supaya tidak terganggu, dengan risiko mengeluarkan biaya besar. Ada yang dengan cara kekeluargaan, diinapkan di rumah panitia dengan maksud agar lebih akrab.
Dalam kacamata dakwah, kedua cara itu sebenarnya bukan masalah utama, karena memang kemampuan dan tradisi masing-masing penyelenggara berbeda. Terpenting adalah bagaimana kegiatan dakwah di Cabang dan Ranting terus berjalan, dan kehadiran kita bisa menggembirakan, bukan malah menambah beban.
Belum lama ini misalnya, saya diundang Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kras Kabupaten Kediri, untuk mengisi pengajian Ahad pagi. Biasanya untuk kegiatan serupa saya datang di lokasi jelang acara dimulai, dengan pertimbangan supaya panitia tidak repot menyiapkan akomodasi. Kali ini, karena ada rangkaian kegiatan di daerah lain maka Sabtu malam sudah berangkat menuju lokasi.
Dalam perjalanan saya diberitahu bahwa penginapannya di rumah Pak Suryani. Tiba di lokasi sekitar pukul 23.00 WIB, sang tuan rumah yang juga Ketua PCM itu langsung menawari dua hal: mau makan atau mandi lebih dulu. “Kalau makan, sudah siap. Kalau mandi, saya masakkan air panas dulu, biar tidak masuk angin.”
Bagi saya, diinapkan di rumah Pimpinan Cabang adalah kehormatan. Lebih dari itu cara tuan rumah menyambut tamu sangat menginspirasi dan mengharukan. Menyediakan makan dan penginapan untuk tamu sudah biasa kita lakukan. Tapi memasakkan air untuk mandi sang tamu agar lebih fresh adalah amalan mulia yang baru saya temukan.
Setelah mandi, kami berbincang ringan tentang kondisi Persyarikatan, termasuk masalah-masalah keluarga. Dalam suasana seperti itu interaksi antarsesama terasa lebih familiar. Itulah suasana ber-Muhammadiyah di desa.
Berbeda dengan di kota, hubungan antarsesama biasanya formal dalam acara serimonial dan cenderung kontraktual. Seperti pengalaman diminta khutbah Shalat Id di beberapa Cabang di kota. Ketika khutbah usai, semua panitia bubar begitu saja tanpa seorang pun mendampingi untuk sekadar berbincang ringan, apalagi menawari minum atau sarapan pagi.
Namun hal itu mudah dimaklumi, jika kita memahami bahwa kultur kehidupan perkotaan yang serba praktis dan individualistik memang telah merasuki gerakan dakwah ini. Sehingga tidak kaget jika hubungan dengan khatib pun bersifat kontraktual.
Karena kontraknya khutbah, maka ketika selesai khutbah sang khatib tidak dipedulikan lagi itu biasa, tidak usah disesali. Itulah suasana ber-Muhammadiyah di kota.
He he he…, salahkah?
Kolom ini ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
Discussion about this post