PWMU.CO-Inti pokok dari toleransi antarumat beragama adalah saling menghargai, menghormati, memahami, dan mengenal. Jika semua itu terbangun, kekhawatiran terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tindakan yang tak diinginkan tahun politik 2018, bisa dihindarkan sejak dini.
“Ending dari semuanya adalah menciptakan situasi dan kondisi yang aman dan kondusif di tengah masyarakat Jawa Timur, khususnya kabupaten Malang. Apalagi menjelang tahun politik 2018, momentum Pilkada Jawa Timur sangat rawan konflik horizontal antarumat beragama karena beda pendapat dan pilihan politiknya,” ujar Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Malang Ahad Abdul Jalil MPdI, dalam acara Dialog Lintas Agama di Aula Kantor Depag, Gadang, Malang, Kamis (5/4/2018).
Ahad menuturkan, perbedaan merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Itu seperti sudah dijelaskan dalam al-Quran. Di mana Allah telah menciptakan manusia baik laki-laki atau perempuan, kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar semua bisa saling mengenal.
“Maka sikap yang tidak toleran adalah keluar dari fitrah dan sikap manusia sebagai makhluk sosial,” tandas Ahad dalam acara yang difasilitasi Depag Kabupaten Malang ini.
Karena itu, timpal dia, menjalin komunikasi dan silaturahim untuk saling mengenal menjadi keharusan. “Jika komunikasi bisa via kapan saja di mana saja karena bisa via telepon. Untuk silaturahim harus saling ketemu satu dengan lainnya, akhirnya bisa tahu dan saling kenal,” jelas Ahad.
Hal senada disampaikan KH Abdul Wahid, Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malang. Menurut dia, toleransi hukumnya wajib. Jika dilakukan mendapat pahala, kalau ditinggalkan berdosa.
“Berawal dari kondisi masyarakat secara umum, jika masyarakat saat berada di luar masjid kempus (bahasa walikan Malang berarti sumpek, red), jika ke masjid yang dicari adalah kesejukan yang adem. Begitu pun dengan agama lain, saya yakin pasti sama. Oleh karena kita sebagai tokoh agama harus bisa menjadi penyejuk umat,” jelas pria yang karib dipanggil Gus Wahid ini.
Terkait toleransi antarumat beragama, imbuh dia, MUI memiliki dua pandangan. Pertama, menjadikan sarana belajar kebaikan di masing-masing agama. Kedua, untuk saling mengenal antartokoh agama.
Gus Wahid berharap, momen pilkada 2018, semua umat bisa menjaga kerukunan dan ketentraman.
“Momentum pilkada adalah kontemporer, tapi agama adalah abadi selamanya. Maka jangan gunakan simbol agama dalam pilkada untuk kepentingan sesaat,” pungkas pria yang dijuluki Kyai Arema karena kerap menggunakan bahasa walikan (kebalikan) itu. (izzudin)