PWMU.CO – Memasuki halaman SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo (Muhida), Sabtu (7/4) pagi terasa berbeda, padahal hampir tiap hari saya antar jemput buah hati saya. Irama detak jantung tidak seperti biasanya, berdegup agak kencang, saat memasuki gerbang sekolah yang terletak di kelurahan Pucang Anom Sidoarjo ini.
Ya, hari ini pembagian raport sisipan. Bahkan saat menapaki anak tangga menuju lantai 2, hati saya semakin tak karuan. Kelas V Utsman, begitu tulisan di atas pintu. Saya dorong pintu dan langsung berjalan perlahan masuk kelas mencari bangku kosong. Sebelumnya saya berhenti di depan kelas untuk mengisi daftar antrean pengambilan raport dan mendapat nomor 20.
Saya pun duduk di bangku yang sebetulnya buat anak-anak. Ada empat orang bapak di dalam kelas, berarti lima orang tambah saya, selebihnya ibu-ibu. “hasil ujian sudah dibagikan, bapak dan ibu bisa periksa apa nilai putranya sudah sesuai atau barangkali ada jawaban yang benar tapi disalahkan, silahkan mengingatkan saya”, kata Bu Irul wali kelas V Utsman.
Tidak ada tanggapan dari para wali murid, Bu Irul melanjutkan penjelasannya tentang nilai harian, tugas, ulangan, dan pengolahannya sehingga jadi nilai raport dijelaskan dengan rinci. Termasuk juga program remidial yang dilaksanakan oleh masing-masing guru pengampu mata pelajaran. “nilai harian dirata-rata, ditambah tugas dirata-rata, ditambah nilai ulangan tengah semester (UTS) dibagi 3 (tiga). Hasilnya itulah yang muncul di raport”, tambah Bu Irul yang memiliki nama lengkap Choirul Muflichah, S.Pd sambil menunjukkan di slide.
Saya yang sehari-hari juga menjadi guru di SMAMDA Sidoarjo dan menghadapi orang tua saat penerimaan raport, akhirnya bisa merasakan bagaimana duduk di posisi mendengar penjelasan guru. Rupanya begini rasanya wali murid waktu mendengarkan penjelasan saya saat pembagian raport. Panjang kali lebar kali tinggi jadilah volume kubus. Hehehe
“Di Muhida tidak ada ranking, setiap anak dapat medali sesuai kemampuan masing-masing”, tambah Bu Irul. Ini menguntungkan. Betul-betul menggembirakan. Anak saya yang jenius belum tentu dapat ranking. Kalau medali dan piala beberapa kali dia bawa, tapi dari berbagai kejuaraan silat Tapak Suci. Kalau mapel? Hmm…, belum.
Presentasi selesai, kini pembagian raport dimulai. Sesuai nomor urut kedatangan, masing-masing wali murid maju di depan meja Bu Irul. Saya berusaha tenang, menunggu dengan sabar. Lama waktu konsultasi masing-masing wali murid dengan Bu Irul beragam.
Ada yang hanya tiga menit, ada yang lima menit, bahkan 10 menit juga ada, mungkin karena anaknya agak sedikit perlu perhatian dari orang tua. Ada wali murid yang tersenyum bahagia, ada juga yang seperti bingung. Beragam rupa ekspresi tergambar dari raut euka para wali murid. Saya membayangkan diri saya seperti apa ketika di depan Bu Irul.
“dua puluh”, panggil Bu Irul. Tak ada yang maju.
“dua puluh”, ulang Bu Irul. Belum juga ada yang maju. Oh… ternyata itu nomor urut saya. Tak sadar saya telah melamun, sehingga lupa nomor antrian sendiri.
Saya pun maju, melangkah menuju depan meja bu Irul. Begitu melihat saya beliau langsung tersenyum, bukan karena apa-apa, tapi karena beliau mengenal saya, maklum sama-sama guru. “mohon Surya terus didampingi pak, sekarang Surya begitu semangat, sering maju dan bertanya”, kata Bu Irul. Saya tersenyum dan mengucap terima kasih.
Saya sangat percaya dengan Bu Irul. Untuk mapel Matematika dan IPA anak saya cukup menguasai, dan cukup mahir. Hehehe… apalagi guru pengampunya Bu Irul sendiri, namun untuk mapel yang lain, bahasa Arab, tarikh, Quran, hadits, bahkan bahasa Jawa, saya hanya bisa tersenyum.
Saya ucapkan terima kasih kepada Bu Irul, berdiri, dan melangkah keluar. Di depan pintu buah hati saya telah menunggu. Sambil menggandeng tangannya, saya serahkan raportnya, dia hanya tersenyum, lalu mengajak pulang. (Moh Ernam, M.Pd).